Keberagaman Indonesia merupakan berkah
yang indah jika
masyarakat hidup rukun dan damai. Namun
keberagaman sendiri bukan tanpa tantangan dan ujian, terbukti dengan adanya peristiwa
yang menunjukkan sikap intoleransi di beberapa daerah di negeri ini, ditambah
lagi prasangka dari satu pemeluk agama terhadap agama lain dan sebaliknya. Ini menjadi
pendorong bagi Stube-HEMAT Yogyakarta untuk mengadakan pelatihan Multikultur
dan dialog Antar Agama dengan tema ‘Bersama Merangkai Indonesia’ pada tanggal 6-8 Maret 2020 di Wisma Pojok Indah, Yogyakarta, dimana para
mahasiswa peserta pelatihan belajar tentang prasangka yang bisa menghalangi
seseorang berelasi antar agama.
Sesi eksposur ke berbagai tempat ibadah
agama lain menjadi sesi yang menarik karena memberi pengalaman langsung peserta
pelatihan berinteraksi dengan agama lain, seperti ke Klenteng Poncowinatan, Pura Jagadnatha, Vihara Karangdjati dan Pondok Pesantren
Lintang Songo.
Setiap peserta bebas memilih tempat ibadah mana yang ingin dikunjungi untuk
mendapatkan pengalaman baru.

Eksposur ke Klenteng Poncowinatan diikuti
11 mahasiswa dan 1 pendamping. Mereka adalah Yustiwati, Fiany Kasedu, Ram Hara, Oktavianus Talo Pake, Hidayat
Badjeber, Roni Aropa, Yulius
Servas, Marten Momo Ndara,
Daniel, Siti Muliana
dan Ibu Ariani. Rombongan eksposur ini disambut oleh Bapak Eka Putera, selaku pengurus Klenteng, dengan ramah
dan hangat. Perasaan kagum dan penasaran langsung muncul ketika melangkahkan kaki ke dalam
bangunan Klenteng dan terungkap dalam pertanyaan-pertanyaan sepanjang diskusi, seperti ‘kapan Klenteng ini dibangun?,
‘seperti apa sejarahnya?’ dan ‘pemeluk agama apa saja yang beribadah di sini?” Selaku
narasumber, Pak Eka menceritakan bahwa Klenteng ini disebut Tjen Ling Kiong, dibangun pada tahun 1881 di tanah pemberian Sultan Hamengkubuwono VII,
dengan luas kurang lebih 2.000 m2 dan diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono VII. Awalnya
klenteng ini menjadi tempat ibadah agama Konghucu, namun seiring waktu klenteng ini menjadi tempat ibadah tiga agama,
akhirnya disebut Tempat Ibadah Tri
Dharma (TITD), yaitu
Buddha, Konghucu,
dan Taoisme.
Masyarakat Yogyakarta sendiri
mengenal adanya mitos garis
imajiner Gunung Merapi sampai ke Pantai Selatan,
dan Klenteng ini berada
dalam rentang garis lurus
antara Gunung Merapi, Tugu Jogja, Kraton dan Pantai Selatan. Warna merah dan
kuning emas selalu menghiasi Klenteng ini karena pemeluk Konghucu meyakini bahwa warna merah melambangkan kebahagiaan dan kemakmuran
sedangkan warna kuning melambangkan keberuntungan dan keceriaan.
Setiap agama memiliki keunikan
dalam menyembah Tuhan
dan sarana yang
digunakan, termasuk di klenteng ini, ada sebuah beduk dan lonceng yang digunakan saat hari besar Konghucu, khususnya setiap 26 Agustus dan tahun baru Cina (Imlek),
serta ada 19 altar pemujaan dewa-dewa
dalam agama Konghucu
yang memiliki
kekuatan masing-masing, seperti dewa langit yang berkuasa di langit dan dewa dapur yang biasanya berada di belakang.
Hal menarik
dari Klenteng ini adalah selain untuk ibadah, juga tempat wisata dimana pengunjung yang datang tidak selalu beragama Konghucu, bahkan dikunjungi
wisatawan mancanegara.
Yustiwati Angu
Bima, salah satu peserta, mahasiswa Teologia UKDW yang berasal dari Sumba mengungkapkan, “Ini pertama kali saya berkunjung ke Klenteng, padahal saya sering lewat dan penasaran
dengan bangunan yang unik ini, tetapi saya tidak berani
menjawab rasa penasaran saya. Dari eksposur ini saya mendapat pengalaman dan pengetahuan
baru dari Pak Eka
yang sudah menjelaskan
tentang Klenteng dan dewa-dewa dalam agama Konghucu”.
Seperti pelangi yang indah karena berbeda warna, bahwa pengalaman akan
memperkaya diri kita, dengan mengenal,
mengerti, dan menghargai perbedaan yang ada, perbedaan bukan alasan
bermusuhan tetapi bersama-sama
merangkainya menjadi Indonesia.
Semua itu berawal dari diri
kita. (Thomas Yulianto).
Komentar
Posting Komentar