Perjalanan peserta menuju Vihara Karangdjati dipenuhi rasa antusias sekaligus
penasaran karena kegiatan ini, bagian dari pelatihan Multikultur dan Dialog
Antar Agama yang diadakan oleh Stube-HEMAT Yogyakarta pada 6-8 Maret 2020, merupakan
pengalaman pertama berinteraksi lintas iman secara langsung berkunjung ke
Vihara dan berdialog dengan pemeluk agama Buddha. Di Vihara, Supriyanto salah
satu staff menyambut peserta dan menyuguhkan makanan tradisional, seperti kacang rebus,
keripik
singkong dan nagasari. Dalam sesi perkenalan, para peserta berbagi cerita dan mengobrol ringan sambil
menyeduh teh hangat beraroma melati. Wanti menceritakan pengalaman di kampung
halamannya di
Halmahera. Erik Poae juga mengungkap perbedaan situasi di Halmahera yang mayoritas Kristen
dan di Jakarta tempat ia kuliah yang mayoritas Islam. Telik, mahasiswa Hindu
dari Bali mengungkap kehidupan beragama di desanya terjalin baik justru di kalangan
masyarakat biasa daripada
antar tokoh
agama dan dia
berharap ke depan menjadi lebih baik. Tak ketinggalan, Mutiara dari Bandung menceritakan pengalaman berinteraksi
dengan masyarakat Sumba yang berbeda agama dan tradisi dalam program
Exploring Sumba.
Sementara Budi dari Riau merasa tidak mengalami ataupun
melakukan sikap intoleransi.
Selanjutnya, Totok Tejamano, S.Ag,
ketua Vihara Karangdjati yang juga Pembina Masyarakat Buddha Kota Yogyakarta mengungkapkan
rasa senangnya bertemu mahasiswa yang haus untuk belajar hal baru di Vihara Karangdjati. Ia menuturkan sejarah Vihara Karangdjati sebagai vihara tertua di Yogyakarta telah berdiri
sejak tahun 1950
dan diresmikan
tahun 1962,
meski sebenarnya bangunan utama sudah ada sejak jaman Belanda yakni tempat pemerahan susu sapi. Pada masa
itu wilayah Karangjati
merupakan lahan
perkebunan dan setelah Indonesia merdeka lahan ini menjadi milik Romo Among. Di bagian lain, tahun 1958 Bhante
Jinaputta menjalankan ‘vassa’
dan tinggal
di Cetiya Buddha Khirti, milik Tjan Tjoen Gie (Gunavarman Boediharjo) di kampung
Sayidan, satu-satunya tempat
ibadah pemeluk Buddha
di Yogyakarta masa itu. Dari kesepakatan antara Tjan Tjoen Gie dan Romo Among, Bhante Jinaputta tinggal di bangunan bekas
tempat pemerahan sapi
milik Romo
Among dan sejak itu kegiatan
keagamaan mulai diadakan di situ. Ada delapan tokoh di Vihara Karangdjati yang dikenal dengan sebutan Djojo 8
(joyo wolu) yang aktif di
vihara tersebut, antara lain Romo Among, Tjan Tjoen Gie, Soeharto Djojosoempeno, Djoeri
Soekisno, Kho Tjie Hong, Tan Hok Lay, Moesihardjono, dan Krismanto. Vihara mulai berkembang dengan
pembangunan pagar
keliling dan gapura tahun 1962 dan dinyatakan sebagai berdirinya Vihara. Tahun-tahun berikutnya merupakan masa
sulit ketika para perintis meninggal dunia termasuk Romo Among di tahun 1993. Vihara Karangdjati
mulai menggeliat kembali tahun 1998 secara bertahap merenovasi bangunan
pendukung, altar,
kanopi dan pagar
sisi barat, bahkan bersamaan perayaan Kathina 2550/2006, keluarga Romo Among menghibahkan tanah vihara kepada
Sangha Teravada Indonesia. Perkembangan agama Buddha sampai tahap ini
merupakan keterlibatan
masyarakat yang saling mendukung dan mencerminkan persaudaraan yang mampu menjawab setiap pergumulan.
Totok juga memperkenalkan
filosofi Jalan Tengah a la Vihara
Karangdjati,
yaitu Kesusu selak ngopo, alon-alon yo arep ngenteni opo? (mengapa tergesa-gesa, apa yang
dikejar? Mengapa pelan-pelan, apa yang
ditunggu?) Filosofi
ini mengingatkan apapun
yang dilakukan seseorang sebaiknya diawali dengan ketenangan dan tidak terburu-buru, berpikir jernih
dan keseimbangan dalam menjalankan. Berkaitan sapaan Namo Buddaya digunakan untuk menyapa atau
menyatakan ungkapan
hati dengan sungguh-sungguh.
Tidak terasa, obrolan
kami semakin serius, mendalam, memicu rasa ingin tahu, tapi tetap santai dan sampai pada
pertanyaan yang diajukan peserta, “Pak Totok, mohon maaf sebelumnya, saya ingin tahu apakah Buddha itu menyembah
patung Siddharta
Gautama?” Pak Totok
dan Mas Supri tertawa sambil menjawab, “Ya, sebagian besar berpikir bahwa ketika kami menghadap dan
bersujud di depan patung, kami sedang berdoa meminta-minta. Sebenarnya tidak
demikian karena tradisi
itu bermakna ungkapan spiritual maupun semangat untuk mencapai kebuddhaan. Bukan
saja untuk mengenang Shiddharta Buddha Gautama sebagai guru utama yang
menunjukkan jalan kelepasan, tetapi secara spiritual patung tersebut mempunyai
sugesti yang kuat untuk mencapai
kebudhaan.
Lalu apa yang dimaksud Buddha itu sendiri? Buddha bukan sesuatu
yang berbentuk atau nama atau seorang manusia, tetapi suatu
gelar yang dapat dicapai oleh Shiddarta,
yaitu ‘mencapai suatu tujuan’ melalui ‘pencerahan
agung’.
Kata ‘Buddha’ sendiri
berasal dari kata kerja ‘buddh’ yang artinya bangun, sadar, mengerti dan
tercerahkan dari kegelapan atau kesesatan menuju
cahaya kebenaran. Patung Buddha juga digunakan oleh para Buddhis
sebagai alat untuk berkonsentrasi dan meditasi dalam beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang disebut Sang Hyang Adhi Buddha. Jadi,
patung Buddha bukanlah Siddharta
sebagai manusia tetapi Tathagata atau Afatara, Sang Adi Buddha”, paparnya.
Dalam akhir pertemuan, Totok menyampaikan pesan kepada mahasiswa agar tetap
bergandeng tangan menjaga keutuhan bangsa di tengah kondisi sosial masyarakat saat ini.
Politik pecah belah sudah
lama terjadi di wilayah nusantara ini dengan mengadu domba raja-raja untuk mendapat kekuasaan, saat ini isu beralih pada istilah-istilah
keagamaan, kesukuan serta pribumi atau orang asing. Anak muda, mahasiswa perlu
menyadari dan waspada
hal tersebut dengan tetap Bersama Merangkai Indonesia.
(PUT).
Komentar
Posting Komentar