Dengan cinta tentu prasangka
tidak akan ada bukan? Atau prasangka hadir karena tiadanya cinta? Keduanya
mungkin terjadi dan sedang menjadi perenungan saya, Siti Muliana, yang lahir dan besar di Konawe, Sulawesi Tenggara. Saat ini saya sedang menempuh program sarjana pada program
studi ilmu al-Qur’an dan tafsir di STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta. Ketika berbicara tentang toleransi dan termasuk hubungan antar agama,
saya mengenal topik
ini ketika
bersekolah di Yogyakarta sejak 2014 silam. Bagaimanapun, selama masa tumbuh
berkembang hingga saat remaja di Sulawesi Tenggara saya tidak pernah sekalipun berinteraksi dengan
kelompok masyarakat yang berbeda etnis maupun agama. Namun demikian, dalam pengamatan saya hingga
saat ini, masyarakat di daerah asal saya sebagian masih eksklusif terhadap agama lain.
Saya menemukan perspektif baru ketika tinggal dan bersekolah di Yogyakarta di
pondok pesantren Sunan Pandanaran, walaupun kehidupan sehari-hari berinteraksi dengan sesama yang beragama Islam, namun tidak membuat kami bersikap eksklusif
terhadap agama lain, malah sejak dulu hingga kini, pondok pesantren tempat saya tinggal terbuka dan sering menerima kunjungan tamu dalam maupun luar
negeri dengan beragam kepercayaannya. KH. Mu’tashim Billah sebagai pimpinan pondok pesantren selalu mengingatkan kami santri-santrinya, “Siapapun yang
bertamu ke pondok, harus dilayani dengan baik sampai merasa di rumah.” Begitulah pesan beliau, bahkan saat acara puncak haul Gus Dur pada 27 Februari
2020 yang dihadiri oleh tokoh lintas agama, Kyai Tashim sendiri menyambut
tamu-tamu dan memastikan mereka mendapat layanan yang baik. Ini teladan yang Kyai tunjukkan dengan sikap pluralisnya dan mesti diadopsi oleh para santrinya. 
Di akhir pelatihan, peserta baik individu atau kelompok memiliki
rencana tindak lanjut pasca pelatihan tersebut. Saya bergabung dalam kelompok yang merancang membuat film pendek bertema keberagaman.
Sedangkan secara individu, saya berencana memberikan materi yang saya dapat di pelatihan kepada anak-anak usia remaja yang di bawah ampuan saya di pondok pesantren,
khususnya terkait keberagaman. Harapannya, covid-19 yang memaksa kita untuk tetap di rumah dan melakukan social distancing bisa reda dan kami bisa
melanjutkan kedua rencana
tindak lanjut tersebut demi menyemai sikap toleran dan menghargai keberagaman.
(Siti Muliana).







Komentar
Posting Komentar