Refleksi peserta Communication Skills
Tahun 2020 gelombang 3
Pada bulan Februari 2018,
untuk pertama kalinya saya pergi ke psikolog setelah mencoba mengumpulkan
keberanian dalam diri saya. Singkatnya setelah saya mendapat beberapa kali
konsultasi, saya didiagnosa mempunyai gejala psikosomatis. Saya bahkan tidak hafal
ejaan yang benar, tidak mengerti dengan segala artikel dokter tentang gejala
tersebut yang terpampang pada laman browser
saya. Yang saya pahami, apa yang menjadi beban pikiran saya, akan
berimplikasi pada reaksi tubuh. Saya mengalami seperti pusing, mual, keringat
dingin, panas hingga (maaf) muntah. Sebagai manusia biasa, berbagai reaksi
penolakan bermunculan pada saat itu. Saya mulai menghubung-hubungkan hal-hal
regresif selama ini akibat dari stress saya tersebut, termasuk di antaranya
kebutuhan yang paling mendasar; berkomunikasi.
“Pantas selama ini cara ngomong saya jelek, banyak missing,
ae...,ae..., nya.”
“Dalam kepala saya ngomongnya A, keluarnya Z. Jauh banget!”
Hampir setiap hari
perkuliahan ada presentasi, berbicara di depan kelas, namun tidak sejalan
dengan kondisi saya pada saat itu. Berbicara tinggal berbicara, tapi tidak bagi
saya. Harus beberapa jam sebelumnya menyiapkan kondisi untuk benar-benar siap
penuh. Satu hal yang saya sadari, bahwa berkomunikasi secara ‘asal berbicara’
dengan berkomunikasi sebagai keahlian adalah hal yang berbeda. Siapapun bisa
saja ‘asal berbicara’ untuk memenuhi kebutuhan komunikasinya. Gossipmongers, salah satunya. Namun
keahlian untuk berkomunikasi yang didasari atas tujuan tertentu, prosesnya
tidak instan. Namun siapapun dapat mempelajarinya. Kalau mau!
Keahlian komunikasi untuk
tujuan tertentu seperti public speaking
yang memenuhi kebutuhan berelasi secara profesional, sudah harus menjadi
kesadaran bersama. Situs laman pengembangan diri profesional muda, Glints
Indonesia, menempatkan nomor dua kemampuan komunikasi yang baik dan nomor tujuh
kemampuan public speaking dalam sepuluh
kemampuan yang harus dimiliki oleh profesional muda. Melihat pentingnya
kemampuan tersebut, membangun kesadaran untuk mau belajar, ditempa melalui
berbagai platform yang aksesibel, sudah seharusnya bukan jadi alasan untuk nggak bisa ‘pinter ngomong’, ya.

https://youtu.be/ltJH9EnJTYc
Lantas, selain sebagai mental health survivor sekaligus
pembelajar komunikasi, dalam mentoring ini menyampaikan pesan secara tersirat
bahwa belajar komunikasi itu tidak terbatas hanya secara keilmuan formal saja.
Merespon kebutuhan pengembangan diri yang ‘menuntut’ setiap individu harus
berjalan dinamis diperlengkapi, terlatih dengan keahlian yang menunjang. Sudah
tidak dalam lingkup formal saja, bahkan dalam pekerjaan-pekerjaan akar rumput
seperti komunitas pun merespon kepentingan ini sehingga mewadahinya sebagai
tempat belajar. Sebuah apresiasi untuk Stube-HEMAT
Yogyakarta karena menumbuhkan kesadaran ini. Apresiasi yang sama untuk
segala wadah pesan-pesan kebaikan boleh mudah diakses termasuk kesempatan untuk
saling menguatkan pesan kesehatan jiwa yang menjadi perhatian saya. Mengelevasi
pengetahuan tentang komunikasi yang dapat diaplikasikan untuk dan oleh segala
lini.
Sudah saatnya, kesadaran
berkomunikasi tidak dihitung secara kuantitas saintifik saja. Komunikasi di dalamnya
memuat sebagai keahlian dalam bernegosiasi, berbicara di depan publik,
berdiskusi, berdinamika seharusnya menjadi budaya yang senantiasa dinamis.
Bahkan melalui komunikasi individu bisa dapat berkembang citranya. Semua
memiliki akses untuk belajar. (Gilang Herdyan S)

Terimakasih untuk kesempatannya. Tuhan memberkati
BalasHapus