Anak Muda dan Masalah Psikososial

Oleh Putri N V. Laoli


Mental health dengan topik ‘Masalah Psikososial Orang Muda’ menjadi bagian pelatihan Health Problems in Indonesia yang diadakan Stube-HEMAT Yogyakarta melalui diskusi virtual pada 5 Desember 2020. Dua puluh peserta mahasiswa beragam latar belakang studi di Yogyakarta dan luar Yogyakarta seperti Sumba, Lampung, Nias, Flores, Bangka, Maluku, dan Cilacap, ini memperkaya diskusi yang mengundang Yosef Andre Beo sebagai narasumber. Andre sangat mengenal Stube HEMAT karena pernah aktif di lembaga ini ketika kuliah di Yogyakarta. Saat ini nara sumber sedang menyelesaikan Magister Keperawatan Jiwa di Universitas Brawijaya Malang.

Dalam pemaparannya, nara sumber mengungkapkan bahwa masalah-masalah psikososial dapat dilihat dalam wujud kecemasan, keputusasaan, ketidakberdayaan, merasa terbebani, kesepian, gangguan citra tubuh, dan mengeluh secara terus menerus. Di saat pandemi dengan imbauan physical distancing dan study from home menyebabkan seseorang tidak bisa beraktivitas seperti biasa, dan ini rentan untuk remaja maupun dewasa awal, karena secara psikososial mereka masih labil sehingga rentan memicu depresi dan ganggunan mental, seperti kejadian yang dilansir dari kompas.com 18/10/2020 bahwa seorang siswi SMA di Gowa, Sulawesi Selatan bunuh diri akibat depresi dengan banyaknya tugas-tugas daring dan sulitnya mengakses internet.

Lebih lanjut, perkembangan psikologis seseorang melalui fase (1) usia toddler/golden age (1-3 tahun), fase di mana seseorang belajar mandiri atau berperasaan malu dan ragu-ragu. Di masa ini orang tua dianjurkan untuk tidak terlalu membatasi ruang gerak serta kemandiriannya agar tidak berketergantungan. (2) usia pra sekolah (3-5 tahun), fase dimana rasa ingin tahu dan antusiasme mempelajari hal baru begitu dominan. Jika anak jarang mendapat stimulasi baik maka ia akan merasa bersalah dan gagal, karena di fase ini anak sedang membentuk konsep dirinya. (3) usia sekolah (6-12 tahun) anak belajar berinteraksi dengan teman-temannya maupun gurunya. Jika anak memiliki ruang berekspresi maka ia terampil secara sosial dan akademik untuk merasa percaya diri, namun sebaliknya jika gagal mengembangkan diri, mereka akan merasa inferior atau rendah diri dan tidak bisa melihat sisi baik diri mereka. (4) usia remaja (12-18 tahun) remaja dapat menunjukkan peran dan bergaul dengan mengadopsi nilai kelompok dan lingkungannya dan dapat mengambil keputusannya sendiri. Kejelasan identitas diperoleh apabila ada apresiasi dari orangtua atau lingkungan yang membantunya melalui proses pencarian identitas diri. Ketidakmampuan dalam mengatasi suatu konflik dapat menimbulkan kerancuan peran. (5) usia dewasa (18-40 tahun) ketika seseorang sudah memiliki komitmen dan selektif untuk menjalin suatu hubungan dengan orang lain, namun jika mengalami kegagalan maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam berinteraksi dengan orang, bahkan mengisolasikan diri. 

Dalam diskusi interaktif ini beberapa peserta menceritakan ulang masa kecilnya dan merefleksikan adanya standar-standar sosial tertentu yang ia alami dan yang tentu berbeda dengan remaja di daerah lain. Standar-standar sosial ini sangat mempengaruhi proses tumbuh kembang mereka baik di dalam keluarga maupun di masyarakat, dan belum tentu mereka mampu bagaimana mengelola situasi stress atau perlakuan yang akan dihadapi di masa mendatang. Beberapa pengalaman yang terungkap antara lain masa kecil yang lebih dekat dengan Ibu dan cenderung suka memberontak, ada yang mengaku lebih nyaman untuk berinteraksi dengan teman laki-laki dibanding dengan teman perempuan, lebih nyaman ketika berpenampilan tomboy, menanggapi secara emosi atas tindakan bullying yang ia alami, ada juga kesaksian hampir mengalami kekerasan seksual dari orang terdekatnya yang membuatnya merasa rendah diri.

Andre mengatakan bahwa mereka yang telah berani menceritakan pengalaman-pengalaman ini membuktikan bahwa adanya keberanian menghadapi masa lalu, berdamai dengan diri sendiri maupun keadaan dan kemauan untuk memperbaiki diri. Inilah poin positif yang sangat luar biasa dimiliki oleh mereka. Beberapa strategi kunci dalam mengatasi masalah psikososial di atas ialah dengan refleksi diri, meningkatkan spiritual, membangun support sistem dan mendapat bantuan tenaga profesional. Sangat bermanfaat jika teman-teman mahasiswa yang sudah memahami hal ini membantu teman sebaya mengurai pengalaman-pengalaman masa lalunya dan membangun optimismenya ke depan.***

Komentar