Oleh: Thomas Yulianto
Kejadian-kejadian bencana telah melanda Indonesia, dari tanah longsor, banjir, gempa, gunung meletus, pesawat jatuh sampai merebaknya pandemi. Perhatian orang biasanya mengarah pada bencana yang terjadi, jatuhnya korban atau bagaimana kondisi para penyintas. Pernahkah mengamati kiprah orang-orang yang menggunakan seragam oranye? Ya mereka adalah tim Search and Rescue (SAR) dan komunitas relawan bencana yang bergerak cepat sesaat setelah terjadi bencana.
Keterlibatan tim SAR untuk menolong
saat bencana menjadi bagian pembelajaran dalam pelatihan ‘Climate Change and Life Survival’ Stube HEMAT Yogyakarta dengan berkunjung
dan berdialog dengan tim Search and
Rescue (SAR) Daerah Istimewa Yogyakarta pada hari Rabu 24 Februari 2021
pukul 15:00-17:00 WIB. Beberapa mahasiswa yang mengikuti eksposur berasal dari beragam
daerah antara lain dari Kupang, Manggarai, Nias, Lampung, dan Bangka. Dari
pihak SAR DIY, Eko Susilo yang bertangungjawab sebagai koordinator divisi K3
mendampingi para peserta yang ingin tahu apa itu SAR, sejarah berdirinya, aktivitas,
bagaimana menjadi anggota dan apa motivasi menjadi anggota tim SAR.
Eko Susilo menjelaskan bahwa SAR awal
mulanya adalah orang-orang yang memiliki hobi yang sama dan berkumpul bersama
dari latar belakang yang berbeda yang selanjutnya membentuk komunitas yang
bertujuan untuk menolong orang lain. Secara struktural, tim SAR DIY bukan
lembaga pemerintah tetapi bekerjasama dalam penanganan bencana. Ada hal yang
menarik dalam keanggotaan tim SAR, yaitu mereka berasal dari beragam latar
belakang pekerjaan, ada yang tukang ojek, pekerja serabutan, guru, tentara dan
mahasiswa. Perekrutan anggota SAR ini berdasar pada kemauan dan kerelaan
(voluntary) untuk membantu orang lain dan kemauan untuk belajar bersama
membekali diri dalam keterampilan Search and Rescue, seperti pengetahuan medis
dasar, menyelam, vertical rescue, survival gunung dan hutan agar mereka siap
sedia menolong ketika terjadi bencana maupun insiden yang terjadi.
Dalam dialog ini terungkap bahwa anggota tim SAR tidak mendapat gaji atau insentif seperti pekerja lainnya karena menjadi anggota tim SAR sifatnya sukarela, dan mereka melakukan pekerjaannya dengan iklas tanpa orientasi penghasilan materi. Selain itu, terungkap juga kisah-kisah yang mendebarkan ketika tim SAR bersama pihak yang kompeten mengevakuasi pendaki gunung yang jatuh ke kawah gunung Merapi. Ada juga pengalaman evakuasi pendaki dari Rusia yang tersesat di gunung Merapi, dan bersyukur dalam kejadian ini pendaki tersebut ditemukan selamat. Saat ini dalam masa erupsi gunung Merapi, Tim SAR DIY mengkoordinir relawan-relawan Disaster Response Unit (DRU) di DIY untuk bekerjasama memantau dari berbagai posko pemantau. Melengkapi eksposur ini peserta mengamati peralatan yang digunakan dalam rescue seperti perahu karet, pelampung, tali, perangkat menyelam, tandu, helm, senter dan alat-alat lainnya, bahkan peserta mempraktekkan penggunaan alat-alat rescue sebagai pengenalan proses rescue.
Pengalaman dialog ini membangkitkan
kesan peserta, Ari Surida, mahasiswa APMD dari Bangka yang mengatakan, “Saya sangat
terharu mendengar cerita dari teman-teman tim SAR dan mas Eko bahwa anggota SAR
melakukan kegiatan yang berat ini dengan sukarela, bahkan mereka mengumpulkan
dana secara mandiri. Jika dihitung memang tidak menguntungkan secara materi,
waktu dan beresiko tinggi, namun mereka melakukan semuanya itu karena hobi dan
motivasi dalam diri masing-masing ingin menolong orang.”
Interaksi dan dialog langsung semacam
ini menjadi media transfer jiwa kepedulian dan kemanusiaan terhadap bencana
yang terjadi. Mahasiswa tidak saja berlajar tentang perubahan iklim yang
berdampak pada bencana tetapi juga kepedulian, kemanusiaan dan solidaritas
sosial seperti yang dimiliki oleh anggota tim SAR untuk hadir dan menolong di
saat bencana terjadi.***
Komentar
Posting Komentar