Refleksi Eksposur Turgo oleh Michael
Saya Michael, dari Malinau, Kalimantan Utara, ingin berbagi cerita
mengenai pengalaman kegiatan mengamati Gunung Merapi dan penduduk sekitarnya. Sebelumnya,
saya ingin menceritakan latar belakang saya, bahwa awal mula saya bergabung
dalam organisasi yang peduli terhadap kesadaran bencana alam, yaitu Stube-HEMAT
Yogyakarta. Mengapa saya tertarik mengikuti kegiatan ini? Karena saya tertarik
dengan kegiatan yang membahas bencana alam dan saya ingin mengenal lebih
dalam apa yang dimaksud dengan bencana dan bagaimana mengatasinya sesuai dengan
latar belakang studi saya di Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta. Inilah yang mendorong saya bersemangat bergabung
dengan kegiatan Stube-HEMAT Yogyakarta.
Saat itu agenda kegiatan Stube-HEMAT adalah melakukan eksposur ke Museum Gunungapi Merapi (MGM) dan dusun Turgo di lereng Merapi. Ini yang membuat saya antusias mengikuti kegiatan ini karena banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepala saya. Pada tanggal 27 Februari 2021 saya bersama peserta lainnya belajar di MGM di kawasan Pakem. Di tempat ini kami disambut oleh media simulasi letusan gunung Merapi lengkap dengan bentuk dan kontur permukaan tanah sekitar gunung yang mendekati mirip aslinya. Selanjutnya bersama pemandu museum, kami mengamati dampak letusan Merapi tahun 2010 yang digambarkan dalam model sebuah rumah yang rusak parah terkena awan panas. Di bagian lain, saya belajar macam-macam gunung berapi di Indonesia dan gunung-gunung yang masih aktif. Ternyata Kalimantan memang relatif jauh dari rangkaian gunung berapi di dunia.
Dari MGM kami menuju desa Turgo yang berada 5 km di bawah Puncak Merapi. Bersama Pak Indra kami mengamati puncak Merapi dan jalur guguran lava saat Merapi erupsi. Ini menunjukkan betapa kecil manusia di tengah alam semesta. Setelah itu kami menemui beberapa warga setempat untuk berdialog dan mengenali lebih dalam mengenai gunung Merapi. Saya tak sabar ingin bertanya kepada mereka, pertanyaan yang sering saya dengar dan menjadi penasaran saya, yaitu mengapa memilih bertahan dan tetap tinggal di desa Turgo padahal desa ini sangat dekat dengan gunung Merapi dan sangat membahayakan keselamatan mereka karena beberapa kali terkena erupsi.
Salah satu warga, Mbah Hadi menjawab, “Merapi adalah sahabat kami.
Mengapa bisa sampai disebut sahabat? Karena sifat sahabat tentu sudah saling
mengenal satu sama lain. Kami yang tinggal di Turgo ini mengandalkan hidup di
lereng Merapi, dan mata pencaharian yang dikerjakan berasal dari hasil letusan
gunung Merapi, misalnya pasir, batu, tanah yang subur bagi tanaman. Selain itu,
kami lahir dan besar di tempat ini. Kenyataannya gunung Merapi tidak meletus setiap
hari, minggu maupun bulan, jadi kami sudah terbiasa dengan perilaku gunung Merapi.
Kami yang tinggal di sini memiliki strategi untuk menghindari dan mengatasi
ancaman dari amukan gunung Merapi, ditambah lagi dengan kemajuan teknologi dari
dinas pemerintah yang sangat membantu itu semakin membuat mereka memilih untuk
bertahan. Ketika aktivitas gunung Merapi meningkat, kami meningkatkan
kewaspadaan dan akan mengungsi jika kondisi mengharuskan. Kalau kami harus pindah
dari tempat ini rasanya berat karena jauh dari ladang dan pasti perlu waktu
lama untuk adaptasi.”
Dari pengalaman dialog ini, saya mengingat daerah saya di Malinau, Kalimantan Utara yang makin sering mengalami banjir setiap musim penghujan, dan mesti mencari solusi supaya warga tidak merasa maklum dan terbiasa dengan banjir tetapi mencari penyebab dan bagaimana mengatasinya. Memang cerita pengalaman ini tidak bisa menceritakan keseluruhan kegiatan tetapi setidaknya eksposur ini bisa menjawab rasa penasaran saya dan menjawab pertanyaan teman-teman saya.***
Betul sekali.
BalasHapusKarena seringnya terjadi banjir di Kalimantan Utara khususnya Malinau, sehingga masyarat mengangapnya biasa tanpa terbesit dipikiran untuk mencari tahu penyebab terjadinya banjir. Sehingga tidak ada solusi yang untuk penanganan banjir