(Seminar PGIW DIY tentang Manajemen Penanganan Covid 19)
Oleh: Thomas
Yulianto
Sejak awal tahun 2020, Covid-19 belum berakhir hingga saat ini tahun 2021, justru di Indonesia ada varian Covid-19 jenis baru yaitu jenis Alpha dan Delta dan sudah merebak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Varian virus jenis baru ini memiliki gejala yang lebih parah dibandingkan dengan virus sebelumnya. Bagi orang yang terpapar virus jenis baru tersebut akan mengalami demam, sesak napas, batuk kering sampai pada hal buruk yakni kematian apabila tidak tertangani. Mengingat virus Covid-19 ini merupakan jenis penyakit menular, maka diperlukan penanganan penyebaran virus tersebut secara cepat dan tidak bisa ditunda. Sangat disayangkan ketika virus varian baru sudah menginfeksi banyak orang, masyarakat justru enggan untuk bekerja sama memerangi penyebaran virus tersebut. Hal itu disebabkan oleh kejenuhan masyarakat dalam menaati protokol kesehatan demi memutus penyebaran Covid-19 varian baru.
Dari
data kasus Covid-19 meningkat, tercatat di minggu terakhir Juni 2021 mencapai lebih
dari 20.000 orang yang terpapar dalam sehari (24 Juni 2021 ada 20.574 kasus), sehingga
perlu mendapat perhatian serius. Sebagai bagian dari upaya penguatan masyarakat
dalam menghadapi pandemi, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Wilayah (PGIW)
Daerah Istimewa Yogyakarta menginisiasi Seminar dan Pelatihan Manajemen
Penanganan Covid-19 dan Masalah Kebencanaan Alam di Wisma Immanuel, Samirono,
kecamatan Depok, Sleman pada hari Jumat, 25 Juni 2021 dengan mengundang
perwakilan gereja-gereja di DIY dan lembaga masyarakat termasuk organisasi
mahasiswa.
Berkaitan
dengan topik ini PGIW DIY menyediakan narasumber yang berhubungan dengan
penanganan Covid-19 dan Kebencanaan Alam, antara lain Satgas penanganan Covid
kecamatan Depok, yang juga sebagai Sekretaris Kecamatan Depok, Wakhid Basroni,
S.IP. M.Si., yang mengungkapkan bahwa penanganan pandemi khususnya di kecamatan
Depok memang tidak bisa mengakomodir semua karena keterbatasan personil yang
ada di kecamatan Depok, sehingga membutuhkan kerjasama berbagai pihak, baik perangkat
pemerintah, tenaga kesehatan dan masyarakat sendiri untuk disiplin prokes.
Wakhid Basroni mengingatkan bahwa kesadaran diri menjadi kunci. Kepala bagian
Promosi Kesehatan Puskesmas Kecamatan Depok, Aditya Sejati S.K.M, M.K.M., memaparkan
bahwa virus akan terus bermutasi sehingga untuk mengantisipasi paparan varian
baru, tetap pada prosedur kesehatan yang ada termasuk memeriksa ketersediaan
air bersih, disinfektan secara berkala, kualitas masker dan alat periksa suhu.
Berkaitan dengan kebencanaan, Suparlan dari Yayasan Sheep Indonesia
mengungkapkan bahwa Covid termasuk bencana dan diklasifikasikan sebagai bencana
non alam, yaitu wabah penyakit. Ada dua sisi yang bisa dilakukan, yaitu
penanggulangan bencana untuk menangani virusnya dan pengurangan resiko bencana
dengan disiplin prokes dan vaksinasi. Vaksinasi merupakan tanggung jawab
pemerintah dan selayaknya didukung. Kenyataannya program vaksinasi disambut
baik oleh masyarakat, ada yang masih ragu ada yang menolak tetapi ada juga
ingin vaksin tetapi kesulitan mengakses informasinya.
Dari seminar ini muncul bahasan tentang anak kost yang terpapar Covid-19 dan diminta pindah oleh pengelola kost, agar penghuni kost yang lainnya tidak tertular. Namun tidak serta merta mudah bagi anak kos untuk pindah secara mendadak dan ini mesti mendapat perhatian apakah tindakan pemilik kost sudah tepat dan bagaimana seharusnya? Pemerintah sudah memberikan fasilitas bagi orang yang terpapar Covid-19 berupa tempat tinggal untuk isolasi mandiri atau memenuhi kebutuhan makan 3 kali dalam sehari, serta vitamin. Akan tetapi informasi tersebut belum tersampaikan secara luas. Perlu sosialisasi lebih terkait fasilitas yang diberikan kepada orang yang terpapar Covid-19 dan masyarakat sekitar, sehingga tidak ada disinformasi antara masyarakat dan pemerintah.
Pada
penghujung seminar, Ketua PGIW DIY, Pdt. Em. Bambang Sumbodo, S.Th., M.Min., menyampaikan
bahwa gereja dan lembaga pemberdayaan masyarakat tidak bisa tinggal diam tetapi
memberikan sosialisasi. Selain itu gereja perlu bersikap tenang dalam menangani
penyebaran Covid-19 tetapi juga bertindak, karena dalam situasi ini pandemi
tidak hanya menyerang fisik tetapi juga psikis, disinilah gereja hadir untuk menyapa, mendampingi dan hadir
meskipun secara virtual atau videocall. Gereja harus bergerak dan gereja harus
‘wani repot’ atau berani bersusah payah.
Sekarang
ini kita perlu melangkah dengan semangat baru untuk saling membantu dan
memperhatikan sesama yang mengalami sakit, terpapar maupun isolasi, selain pada
kesadaran diri untuk menerapkan protokol kesehatan (prokes). Mari bergerak
untuk melindungi diri dan sesama, sekaligus menanggapi panggilan solidaritas
kemanusiaan.***
Komentar
Posting Komentar