Oleh: Putri N.V. Laoli
Sebagai bagian dari Generasi Muda Ono Niha, Nias, Sumatera Utara, dan telah memahami hak-hak anak, saya mengajak anak muda Ono Niha lainnya diskusi tentang Hak-Hak Anak memperingati kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 secara online (18/8/2021). Inisiatif ini mendapat respon anak mudanya yang mencakup mahasiswa, lulusan SMA maupun yang sudah bekerja. Pemahaman terkait Hak Asasi Manusia, khususnya hak-hak anak penting dimiliki mengingat HAM merupakan hak fundamental yang tidak dapat dicabut. Hidup merupakan hak dasar yang dimiliki manusia sejak lahir dan bisa berawal dari kemerdekaan anak-anak atas haknya.
Mengawali diskusi, Fransiscus Harefa, tokoh pemuda Komunitas Generasi Ono Niha mengungkapkan titik pijak diskusi, “Tujuan diskusi ini untuk menjalin silaturahmi, sekaligus menjadi wadah diskusi online untuk merangkul para pemuda Nias membiasakan diri melakukan diskusi untuk menambah wawasan dan pengetahuan serta menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan sekitar."
Selanjutnya
saya menyampaikan konsep ‘Hak-Hak Anak’ secara global, gagasan mengenai hak
anak yang muncul di akhir Perang Dunia I dan berlanjut pasca Perang Dunia II
sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul karena peperangan terutama dialami
perempuan dan anak. Perjuangan hak anak ditandai dengan Konvensi Hak Anak oleh
Eglante Jebb di tahun 1923 melalui Deklarasi Hak Anak yang berisi 10 poin pernyataan
hak anak. Deklarasi tersebut diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa dan dikenal
dengan Deklarasi Jenewa dan akhirnya Majelis Umum PBB mengadopsinya. Sementara
di Indonesia, keberpihakan terhadap anak berawal sejak berdirinya Kongres
Wanita Indonesia pada tahun 1946. Kemudian pada tahun 1951 Kowani menggelar sidang,
dan menggagas penetapan Hari Kanak-Kanak Nasional. Ini menjadi cikal bakal Hari
Anak Nasional setiap tanggal 23 Juli melalui Keppres No. 44/1984 dan pada
tanggal 5 September 1990 pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui
Keppres No. 36 tahun 1990.
Seiring waktu, apresiasi terhadap hak anak pun berkembang, namun sayangnya tidak sedikit masyarakat belum ‘melek’ terhadap isu ini sehingga masih terjadi kekerasan terhadap anak yang harusnya dilindungi, anak yang harusnya mendapat pendidikan malah putus sekolah, anak bekerja keras tanpa ada waktu bermain, rekreasi dan sakit karena kondisi kesehatan yang buruk, makanan dan tempat tinggal yang kurang layak. Lalu, siapakah yang bertanggungjawab untuk memenuhi Hak-Hak anak? Menjawab ini tentu diawali dengan siapa yang berada di lingkaran terdekat anak-anak, jelas dari orangtua, keluarga, masyarakat setempat termasuk pemerintah di desa hingga pusat.
Perbincangan ini semakin menarik ketika peserta aktif menyampaikan tanggapan, dari Ilham Trihariyono dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa jurusan Manajemen menceritakan pengalaman dengan keponakan umur 7 tahun mengidap penyakit PDD-NOS, semacam autisme. "Anak autisme sering mendapat bully, dan perlindungan pun tidak bisa 100% karena di sekolah pun mendapat bully-an, sehingga orangtua cenderung protektif dengan melarangnya bermain”. Dipihak lain, Andre salah seorang peserta mengkritisi sebenarnya sasaran informasi hak-hak anak ini orang di atas 18 tahun, orangtua, atau pemerintah dan apakah hak-hak anak perlu dibatasi, karena jika anak tahu haknya akan semakin sulit diatur.
Yang
pasti, orang dewasa harus tahu hak-hak anak dan merealisasikannya sebagai bentuk
tanggung jawab mewujudkan kesejahteraan anak. Ini nampak sederhana tapi berpengaruh
dalam kehidupan suatu generasi, khususnya untuk generasi Ono Niha yang lebih
baik. ***
Komentar
Posting Komentar