Follow up program Perdamaian dan Keadilan
Oleh: Putri N.V. Laoli
Pernahkah berpikir tentang hakekat
anak? Dari berbagai
literatur menyebutkan anak-anak
merupakan miniatur orang dewasa. Seperti
orang dewasa yang
menuntut hak-haknya dipenuhi,
demikian pula anak-anak memiliki
hak-hak yang harus dipenuhi meskipun
mereka belum menyadari hak-haknya tersebut. Orang
dewasalah yang harus memastikan
hak-hak anak terpenuhi
dan mereka terlindungi dari
kekerasan yang mengancam mereka. Realita ini saya temukan dalam diskusi Stube HEMAT Yogyakarta tentang “Permasalahan Anak di Indonesia dan Memperjuangkan Hak-hak
Anak” (5-6/8/2021).
Dari diskusi tersebut, saya penasaran menemukan informasi dengan mengamati lingkungan sekitar berkaitan hak-hak anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat 5.463 kasus kekerasan terhadap anak hingga Juli 2021. Berdasarkan data dari sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak Kementerian PPPA, kasus kekerasan pada anak mayoritas terjadi dalam rumah tangga. Sementara lainnya terjadi di sekolah dan tempat-tempat umum. Jenis kekerasan yang dialami berupa kekerasan fisik, psikis, penelantaran, trafficking dan eksploitasi bahkan kekerasan seksual. Kekerasan ini dialami anak berbagai rentang usia, sedangkan laporan kasus yang masuk terjadi pada anak usia SMA/sederajat.
Salah satu penyebab
terjadinya kasus-kasus tersebut adalah belum ada
pemahaman dan kesadaran
tentang hak-hak anak pada orang dewasa, sehingga perlu
sosialisasi kepada masyarakat secara
baik dan mudah dipahami. Saya
mengambil langkah sederhana untuk menyebarluaskan pemahaman hak-hak anak, khususnya di kampung
halaman di Nias meskipun saat ini saya berada
di Yogyakarta. Saya mendorong adik kandung saya, Kefas Charity Laoli untuk
bekerjasama mengadakan bincang-bincang bersama anak muda setempat. Meskipun
masih di tingkat SMK, ia menanggapi positif dan cukup gigih menggerakkan anak
muda setempat mendalami hak-hak anak di Nias secara online (07/08/2021), bertempat di gedung
serbaguna kecamatan Gido, kabupaten
Nias, Sumatera Utara. Tak kurang delapan
anak muda dari beragam sekolah ikut
ambil bagian di dalamnya.
Saya
mengawali dengan permainan
sederhana untuk mencairkan
suasana dan membantu
peserta dengan mudah
memahami topik bahasan. Selanjutnya
pesrta mencermati sejarah singkat munculnya konsep
hak anak di level internasional maupun nasional, ragam hak anak dan siapa yang bertanggungjawab
untuk memastikan
hak-hak terpenuhi, antara lain
orangtua, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Di akhir diskusi, saya mengajak
peserta memetakan pelaksanaan hak-hak anak dalam diri
masing-masing dengan mencentang pernyataan-pernyataan
dalam angket yang sudah dibagikan. Benar saja,
peserta mulai menyadari dan mengakui bahwa dari 42 hak anak menurut konvensi
internasional, ada beberapa hal yang
belum terpenuhi. Dari fase ini, saya
memantik peserta untuk berefleksi apa yang menyebabkan hak-hak
anak belum terwujud dan apa
yang bisa mereka lakukan sebagai remaja? Hingga muncul satu pemahaman yaitu para remaja
berpartisipasi
aktif dalam komunitas anak di daerah sebagai
wadah mengkampanyekan hak-hak anak di keluarga maupun masyarakat, termasuk menyeimbangkan
antara hak dan kewajiban anak.
Proses kegiatan ini membuat saya semakin yakin bahwa anak-anak membutuhkan sentuhan orang dewasa dalam mengenalkan hak-haknya sejak dini. Feedback salah satu peserta yang bernama Sri Zebua, “Melalui kegiatan ini saya bisa tahu apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban saya sebagai anak baik di dalam keluarga, lingkungan, ataupun pemerintah.” Peserta yang lain bernama Cici Halawa yang mengatakan, “Saya baru tahu kalau ternyata ada juga hak-hak anak, saya belajar topik baru selain mata pelajaran di sekolah dalam kegiatan ini.”
Satu
kegiatan sederhana yang menyentuh langsung akar
bawah akan membangkitkan kesadaran dan semangat hidup. Orang dewasa dan pemerintah bekerjasama
mewujudkan hak-hak anak dan menciptakan
lingkungan dan ruang tumbuh anak yang
kondusif, aman dan jauh dari kekerasan.
***
Komentar
Posting Komentar