Oleh: Kresensia Risna Efrieno
Pernahkah menemukan suatu masalah di daerah asal? pernahkah berpikir untuk mengungkapkan apa yang menjadi kekhawatiran terhadap suatu kejadian? Atau mendokumentasikan
ke
dalam video? Saat
ini video kian diminati untuk dipelajari dan keterampilan membuat video menjadi tuntutan
di kalangan
anak muda khususnya mahasiswa di tengah kemajuan teknologi. Kombinasi
antara kemajuan teknologi dan mengungkap realitas menjadi strategi Stube HEMAT
Yogyakarta dalam Program Peace dan Justice untuk mengadakan lomba video pendek mahasiswa
di seluruh Indonesia. Lomba ini bukan sekedar menceritakan kejadian atau data menjadi sebuah karya
berbentuk video yang menarik, tetapi mendorong mahasiswa mengenal hak-hak anak realitas
permasalahan yang dialami anak-anak di daerahnya masing-masing.
Lomba video pendek ini berawal dari tanggal 6/08/2021 sampai dua minggu bagi peserta untuk
menggarap video. Dua puluhan peserta mahasiswa dari berbagai program studi dan dari berbagai daerah di
Indonesia ikut ambil bagian dalam lomba ini. Kegiatan ini juga menjadi salah satu tantangan bagi
team Stube HEMAT Yogyakarta untuk merekrut peserta dan melakukan pendampingan
selama masa PPKM. Namun hal ini tidak menjadi sebuah halangan, team dan peserta
tetap melakukan pendampingan meski secara online. Peserta yang mengikuti lomba memulai proses lomba dengan belajar bersama
team Stube HEMAT Yogyakarta sebagai pendamping untuk memahami Hak-hak Anak, kemudian memetakan permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan hak anak di daerahnya. Dari temuan
itu, mereka mendalami mengapa bisa terjadi dan seperti apa alternatif untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Tahap selanjutnya, peserta merancang narasi
dan mengemas
dalam bentuk rekaman video, baik berupa reportase, narasi sampai film pendek yang berisi
tentang pesan
kreatif
dan mendalam demi mempromosikan hak-hak anak di Indonesia.
Di akhir deadline, ada sembilan belas video yang mengungkap realitas permasalahan yang dialami anak-anak di berbagai daerah di Indonesia, antara lain dari Manggarai, Alor, Sumba, Nias, Humbang Hasundutan (Sumatera Utara), Gunungkidul, Sukoharjo, Sulawesi Barat dan Lampung Timur. Pembuatan video ini membutuhkan perjuangan, karena peserta harus memetakan situasi di daerahnya, menganalisa, merancang adegan dan merekam sampai menyunting video, bahkan peserta harus mengatasi kendala terbatasnya jaringan komunikasi. Namun, mereka berhasil mengemas video sesuai kemampuan yang mereka miliki.
Mempertimbangkan penilaian yang obyektif Stube HEMAT
Yogyakarta melibatkan praktisi yang berkompeten di bidangnya sebagai juri,
antara lain, Ifa Aryani (Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) wilayah kota
Yogyakarta), Bandel Ilyas (aktor, sutradara, casting director) dan Richard
Panggabean (multimedia, recording dan audio visual). Berdasar aspek konten atau
isi, artistik dan penampilan muncul lima besar video, yaitu, ‘Kenapa Harus Saya?”
karya Jakson
Hamba Tana dari Sumba Timur sebagai
Juara Satu; “Sudahkah Hak Saya Terpenuhi?” karya Merlince Pauline Maure dari
Alor sebagai Juara Dua; “Mama, Aku Ingin Sekolah” karya Angelina Delviani dari
Manggarai Barat sebagai Juara Tiga; “Mengapa Aku Dinikahkan?” karya Thomas Yulianto dari Lampung Timur sebagai Juara
Harapan Satu dan “Jangan Tinggalkan Aku” karya Eufemia Sarina dari Manggarai sebagai Juara
Harapan Dua.
Dari tanggapan juri terungkap bahwa juri sangat
mengapresiasi usaha para peserta untuk mengungkap realitas masalah yang dialami
anak-anak di daerah asalnya. Namun peserta harus terus meningkatkan kualitas video,
mulai dari merumuskan ide, penyusunan narasi, pengambilan gambar dan peralihan,
volume suara, penggunaan gambar-gambar yang menjadi bagian di video. Anak muda mahasiswa
tak perlu takut
berekspresi. Mulai asah kepekaan melihat realita, kreatif memanfaatkan kemajuan teknologi dan berani menyuarakan panggilan kemanusiaan khususnya
hak-hak anak di
tengah peradaban.***
Komentar
Posting Komentar