Oleh Thomas Yulianto
Kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja dan setiap
orang bisa menjadi pelaku maupun korban, sehingga setiap orang perlu memahami apa
saja yang berkaitan dengan kekerasan seksual. Bahkan bisa terjadi, seseorang telah menjadi
pelaku atau korban tetapi tidak menyadari karena ketidaktahuan tentang
kekerasan seksual. Sebagai bagian untuk memperkaya pemahaman mahasiswa, Stube HEMAT Yogyakarta
mengadakan forum diskusi yang menghadirkan praktisi yang berpengalaman dalam
menangani kasus kekerasan, pendampingan dan perlindungan korban. Dengan materi
ini mahasiswa mengidentifikasi perilaku-perilaku apa saja yang termasuk
kekerasan seksual, bagaimana proses pengaduan korban kekerasan
kepada pihak yang berwenang dengan prosedur yang
tepat dan mengantisipasi terjadinya tindak
kekerasan seksual.
Diskusi Penanganan Kekerasan dan Pengaduan pada hari Rabu, 06/10/2021 di Taru Martani mendapat respon baik dari mahasiswa, terbukti dengan kehadiran mahasiswa dari Nias, Lampung, Bangka Belitung, Sumba Barat Daya, Yogyakarta, Manggarai dan Sulawesi Barat yang sedang kuliah di Yogyakarta. Ifa Aryani,. S.Psi, M.Psi. sebagai narasumber diskusi ini, beliau adalah salah satu anggota dari Komisi Perlindungan Anak dan Perempuan di Indonesia (KPAI) Kota Yogyakarta. Ia menyampaikan jenis kekerasan, yaitu 1) Fisik – pemukulan, tamparan, jambakan, atau segala tindakan yang mengakibatkan luka fisik, 2) Psikologis – berupa umpatan, ejekan, ancaman, atau segala tindakan yang mengakibatkan tekanan psikologis yang berakibat pada gangguan mental dan jiwa, seperti trauma, hilangnya kepercayaan diri dan berbagai akibat lainnya; 3) Seksual – berupa perkosaan, peleceham seksual hingga pemaksaan hubungan seksual dalam perkawinan; 4) Ekonomi – tidak diberikannya nafkah bagi perempuan yang berstatus ibu rumah tangga. Berkaitan dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) memang menjadi masalah pelik, namun bisa diantisipasi dengan beberapa cara, seperti edukasi kepada calon pengantin tentang konsep keluarga Sakinah Mawaddah Wa Rahmah (SAMAWA) bagi yang beragama Islam, pendidikan keluarga berwawasan gender kepada setiap pasangan, dan sosialisai Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Namun demikian, keterlibatan elemen masyarakat sangat diharapkan, artinya masyarakat tidak abai terhadap situasi sosial di sekitarnya.
Bertitik tolak dari pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan berbasis gender, narasumber memberikan alternatif jika terjadi tindak kekerasan dan ingin mengadukannya. Ia memaparkan bagaimana cara untuk melaporkan tindakan kekerasan tersebut, yaitu dengan melaporkan kepada pihak kepolisian terdekat, unit Perlindungan Perempuan dan Anak berada di Polres (kabupaten), atau meminta bantuan pendampingan di UPTD PPA atau P2TP2A atau lembaga layanan pengaduan korban kekerasan di daerah setempat. Jika korban ingin mengadukan tindakan kekerasan ke ranah hukum, maka pengaduan harus dilengkapi alat bukti termasuk saksi dan memeriksakan diri ke institusi kesehatan.
Harus diakui
bahwa konstruksi budaya di daerah mempengaruhi pemahaman gender dan cara
pandang antara laki-laki dan perempuan yang nantinya mempengaruhi cara
berperilaku antar orang. Dari diskusi ini para
mahasiswa mendapat bekal baru tentang kekerasan seksual
maupun prosedur bagaimana dan apa yang
seharusnya
dilakukan oleh korban, selain itu
melalui edukasi mahasiwa diharapkan bisa menjadi aktor perubahan dalam
pemahaman kesetaraan gender. Mahasiswa yang memahami hal ini bisa melakukan sosialisasi dan edukasi kepada teman, keluarga
dan orang-orang sekitarnya dengan
beragam cara. Mari berani berperan dengan menyuarakan pembelaan
terhadap korban kekerasan. ***
Komentar
Posting Komentar