Minum Air Hujan, Mau?

Eksposur Mengolah Air Hujan Menjadi Air Minum bersama Romo V. Kirjito di Muntilan

Oleh: Yonatan Pristiaji Nugroho.            

Bagian terpenting dari segala kehidupan makhluk hidup adalah air, air tidak bisa dipisahkan dengan alasan apapun. Keberlangsungan makhluk hidup sangat bergantung dengan adanya air, tanpa air makhluk hidup akan mengalami kematian. Air bagi manusia berfungsi untuk mengisi cairan yang ada dalam tubuh dan mencegah dehidrasi. Tidak hanya untuk konsumsi, air juga digunakan untuk kehidupan sehari-hari, seperti memasak, mencuci, membersihkan kendaraan, dan mandi. Namun eksistensi air perlu terus dijaga baik dari ketersediaan baik kuantitas dan kualitas, akses mendapatkan air dan distribusi untuk semua.

‘Concern’ terhadap eksistensi air yang perlu terus dijaga, Stube HEMAT dalam program “Water Security” membawa mahasiswa ke dalam realita berkaitan dengan permasalahan air, sehingga mereka memahami dan sadar, bahkan menerapkan dalam kehidupan tentang bagaimana bijak  menggunakan air. Sebagai langkah awal, Stube HEMAT Yogyakarta memfasilitasi mahasiswa melakukan eksposure atau kunjungan belajar ke Muntilan, Jawa Tengah untuk bertemu Romo V. Kirjito dan menelaah Mengolah Berkah Air Hujan (Sabtu, 16/10/2021). Meskipun para mahasiswa berasal dari beragam program studi, seperti Sosiologi, Teknik, Informatika, Ekonomi, dan Teologia, Ilmu Pemerintahan, dan Komunikasi, tidak mengurangi semangat mereka untuk mencari tahu bagaimana mengolah berkah air hujan.

Romo V. Kirjito dikenal sebagai pemuka agama yang memiliki perhatian khusus terhadap air. Berawal dari pengalaman melayani gereja di desa Bunder, Klaten, Jawa Tengah yang ketika itu desa di lereng Gunung Merapi mengalami kesulitan air sementara air hujan belum dimanfaatkan sama sekali. Dari refleksi muncul pencerahan untuk menggunakan air hujan yang ‘gratis’. Secara logika, air hujan yang ditampung secara langsung akan lebih bersih dibandingkan dengan air tanah, karena air tanah telah bercampur dengan berbagai unsur dalam tanah, termasuk polutan tanah. Diakui bahwa memang tidak mudah mengubah paradigma, tetapi dengan pendekatan kepada masyarakat dan penelitian, kebiasaan memanen air hujan akhirnya menyebar. Ia menjelaskan tahapan memanen air hujan dengan menampung air hujan ke dalam tandon dan diendapkan. Selanjutnya air dipindahkan ke dalam instalasi elektrolisis, di mana air dimasukkan ke dalam bejana berhubungan yang dipisahkan dengan filter dengan anoda (+) di satu bejana dan katoda (-) di bejana satunya, kemudian dihubungkan dengan jumper sesuai arusnya. Proses elektrolisis membuat bakteri mati dan terjadi proses kenaikan kadar pH (keasaman) dan menurunnya TDS (kandungan zat padat).

Para mahasiswa menguji pH dan TDS air minum yang mereka bawa dengan menggunakan alat ukur TDS meter dan pH meter dan kemudian dibandingkan dengan air hujan yang sudah dielektrolisis. Berdasar Permenkes 492/Menkes/Per/IV/2010 standar Total Dissolved Solids (TDS) maksimum adalah 500 mg/l, dan standar pH air minum adalah 6,5 – 8,5 mg/l. Mereka menemukan angka TDS dibeberapa sampel antara lain 72, 98, 117, 300, dan 148. Semakin tinggi TDS menunjukkan tingginya total zat padat terlarut, dan berlaku sebaliknya untuk aman diminum. Di bagian pH, jika angka berada dalam kisaran 6,5 – 8,5 berarti aman untuk dikonsumsi. Peserta mendapat kesempatan untuk mencicipi air hujan yang telah dihasilkan dan menceritakan perbedaan ‘rasa’ dibandingkan dengan air yang dikonsumsi sehari-hari.

Poin utama diskusi adalah mahasiswa menyadari masalah air, dari kelangkaan air, sulitnya akses mendapatkan air dan distribusi layanan air yang belum merata, sehingga pemanfaatan air hujan untuk air minum merupakan sebuah alternatif. Hujan yang turun tidak lagi dianggap sebagai gangguan dan penghalang beraktivitas, tetapi sebuah berkah untuk menjadi mandiri dalam kebutuhan air minum. Jadi, masihkah ragu untuk minum air hujan?***

Komentar