Saya Ina Nur Azizah Fajar Aryani, mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta asal dari Sukoharjo, salah satu kabupaten di provinsi Jawa Tengah. Kabupaten ini terletak sekitar 10 km sebelah selatan Surakarta dan berbatasan langsung di sebelah utara dengan kota Surakarta, di sebelah timur dengan kabupaten Karanganyar, dan di selatan dengan kabupaten Wonogiri dan kabupaten Gunungkidul (Daerah Istimewa Yogyakarta). Sekilas dari kacamata awam, kabupaten ini termasuk beruntung karena pembangunan sarana dan prasarananya cukup lancar dan wilayahnya cukup berkembang dengan slogan MAKMUR (Maju Aman Konstitusional Mantap Unggul Rapi).
Namun,
bukan berarti Sukoharjo jauh dari krisis yang bisa mengancam masyarakat, seperti
krisis air bersih yang baru-baru ini terjadi. Dilansir dari Suara Merdeka Solo (https://solo.suaramerdeka.com/solo-raya/pr-051142734/lima-desa-di-sukohaerjo-mulai-kesulitan-air-bersih-bpd-gelontor-121-tangki-air,
terdapat lima desa di Sukoharjo yang mulai kesulitan air bersih. Ini membuat
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menggelontorkan 121 tangki air. Air merupakan
sumber kehidupan setiap makhluk hidup, artinya, keberadaan air harus dijaga
kelestariannya. Lima desa yang mengalami krisis air bersih adalah desa Tawang di Kecamatan Weru, desa Kamal, Puron dan Ngasinan di kecamatan Bulu, dan Desa
Kedungjambal di kecamatan Tawangsari. Lantas bagaimana bisa wilayah Sukoharjo
mengalami krisis air bersih, apa penyebabnya? Apakah wilayah-wilayah tersebut
akan terus mengalami masalah yang sama? Apakah dropping air menjadi solusi yang
terbaik?
Krisis air bersih yang terjadi disebabkan oleh kekeringan. Tiga kecamatan tersebut menjadi langganan kekeringan saat kemarau. Pemerintah pun melalui BPBD Kabupaten Sukoharjo (setelah ada pengajuan bantuan) langsung menyalurkan 121 tangki dengan kapasitas 4.000 liter/tangki. Dari hasil pemantauan, desa-desa di wilayah ini sudah banyak yang bisa mengatasi krisis air bersih dengan menggali sumur-sumur, setidaknya enam titik sumur yang dibuat.
Krisis air bersih menjadi hal yang urgent. Solusi pemerintah dengan memberikan bantuan air bersih memang sudah semestinya harus dilakukan dan masyarakat berhak mendapatkan kehidupan yang layak di suatu wilayah. Namun, permasalahan tidak selesai begitu saja. Diakui bahwa wilayah yang mengalami krisis air bersih semakin berkurang dengan menggali sumur untuk mendapatkan air. Air yang digali dari sumur merupakan air tanah. Itu artinya, mereka sama saja membuat permasalahan baru. Lepas dari krisis air bersih, bisa saja dikemudian hari muncul permasalahan lain, seperti rusaknya permukaan tanah ataupun siklus hidrologi. Permasalahan lainnya adalah habisnya cadangan air yang berguna untuk menyeimbangkan tekanan permukaan tanah yang menyebabkan longsor ataupun penurunan permukaan tanah. Hal-hal seperti ini seharusnya perlu mendapat perhatian.
Dari
situasi di atas, muncul dari pengalaman interaksi saya mengikuti kegiatan Stube
HEMAT Yogyakarta tentang Water Security, dimana mahasiswa melihat realita
masalah air di sekitarnya dan mencoba menemukan gagasan sebagai kontribusi
mahasiswa terhadap realitas masalah tersebut. Saya sendiri memiliki gagasan solusi
yang bisa diambil adalah selain pemerintah memberikan bantuan air bersih ke
wilayah-wilayah yang membutuhkan, penting juga memberi penyuluhan bagaimana
mengolah dan memanfaatkan air secara bijak, terlebih saat ini sudah masuk musim
penghujan. Ini akan sangat bermanfaat bagi masyarakat dan kelestarian air
tanah. Untuk masyarakat yang sudah terlanjur menggali sumur juga perlu dibekali
pengetahuan tentang dampak negatif dari penggalian sumur ini, sehingga warga
bisa beralih ke PDAM atau ke sumber-sumber air di permukaan.***
Komentar
Posting Komentar