Oleh: Trustha Rembaka, S.Th.
Jangan Biarkan Seorang Pun Terbelakang menjadi tagline program Pendidikan di Era Teknologi Maju oleh Stube HEMAT Yogyakarta. Pelatihan ini diselenggarakan di Wisma Pojok Indah, Condongcatur, Yogyakarta (20-22/05/2022), untuk menggugah mahasiswa ‘melek’ realita sosial, seperti teknologi mengambil alih pekerjaan manusia, bonus demografi, kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah; dan menginspirasi dua puluhan mahasiswa lebih adaptif terhadap kemajuan teknologi sekaligus memandu mahasiswa agar mampu bertindak sebagai agen yang menjembatani kesenjangan teknologi.
Kondisi
terbelakang di sini berarti seseorang yang tidak mampu memperoleh pendidikan
yang memadai, ekonomi lemah dan kualitas kesehatan rendah, sehingga tidak punya
banyak pilihan untuk mewujudkan kesejahteraan hidup. Kualitas SDM perlu
mendapat perhatian untuk ditingkatkan dan ini menjadi perhatian Stube HEMAT, seperti yang
disampaikan oleh Ariani Narwastujati, S.Pd., S.S., M.Pd., Direktur Eksekutif
Stube HEMAT Yogyakarta. Sebenarnya pemerintah
Indonesia terus mengupayakan SDMnya memiliki kualifikasi seperti; mau bekerja
keras, dinamis, terampil dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk
mendapatkan kualifikasi semacam itu maka harus ada kebijakan dan peta jalan
yang mengarah pada peningkatan kualitas SDM. Namun perlu diakui bahwa banyak tantangan
berat menghadang, dari dunia pendidikan terjadi kesenjangan karena kondisi
geografis, fasilitas pendidikan satu daerah dengan daerah lain, kualitas anak
didik dan dukungan keluarga, budaya masyarakat setempat dan keterjangkauan
akses komunikasi dan teknologi.
Mengelola lembaga pendidikan swasta saat ini menghadapi tantangan berat, hal ini terungkap ketika Dr. Drs. Mulyo Prabowo, M.Pd. dari Yayasan BOPKRI menyampaikan bahwa jumlah sekolah dan anak didik terus berkurang, namun demikian yayasan terus memperjuangkan eksistensi sekolah, melatih SDM dan mempromosikannya. Sementara Endah Nurshinta, M.Pd., kepala sekolah SMA BOPKRI Banguntapan menceritakan tantangan sekolah dengan input SDM anak didik yang terbatas, sehingga perlu extra pendampingan kepada mereka, menaikkan branding sekolah dan memperluas promosi sekolah. Demikian pula gereja merespon kemajuan teknologi untuk melayani jemaat dengan menyediakan ibadah secara streaming, persekutuan doa online, persembahan cashless dan peningkatan ekonomi jemaat dengan pemasaran melalui grup media sosial, bahkan membantu gereja lain untuk meningkatkan kemampuan teknologinya, dinamika pelayanan gereja ini dipaparkan oleh Pdt Bambang Sumbodo, M.Min, pendeta emeritus GKJ Mergangsan, sekaligus pengurus Stube HEMAT.
Bagi mahasiswa, kemajuan teknologi menjadi tantangan, mau tidak mau kemampuan beradaptasi dengan kemajuan teknologi, memanfaatkan gadget dan aplikasi untuk studi sangat diperlukan. Mahasiwa memetakan aplikasi yang ‘support’ kuliah bersama Aditya Wikan Mahastama, M.Cs., dosen teknologi informasi UKDW. Dari proses terungkap bahwa aplikasi desain, editing video, statistik dan aplikasi berkaitan studi teologi menjadi kebutuhan para peserta. Selanjutnya, para peserta membagi dalam kelompok untuk mengenal tentang aplikasi-aplikasi tersebut.
Berbicara
pendidikan tidak bisa lepas dari Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan
Indonesia yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan keutuhan pengetahuan dan
perilaku. Keutuhan itu bisa dicapai dengan
pendekatan kesenian yang dikembangkan dalam metode Sariswara. Peserta pelatihan
mengenal Metode Sariswara bersama Cak Lis, nama akrab Listyo H Kris
(Laboratorium Sariswara). Metode Sariswara merupakan metode belajar melalui
kesenian yang menggabungkan pengalaman indra, sastra, gerak dan memuat
nilai-nilai, ajaran kebaikan yang dikemas menjadi sebuah cerita, permainan atau
ritus yang akan memunculkan sikap gotong royong, toleransi, kecintaan terhadap
sesama dan alam. Kemudian para peserta diminta menggali permainan-permainan di
daerah mereka dan mempraktekkannya sebagai upaya melestarikan nilai-nilai baik
yang terkandung di dalamnya. Para peserta juga diajak menyaksikan film bertema
pendidikan, seperti Flying Colour, Hichki dan Freedom Writers untuk memahami
pendidikan holistik, bahwa pendidikan tidak saja berkaitan antara anak didik
dan guru, tetapi juga sekolah dan kebijakannya, kondisi keluarga dan lingkungan
yang kondusif. Masing-masing harus menyadari posisi dan tanggungjawabnya untuk
bekerjasama membentuk ekosistem yang menunjang keberhasilan proses pendidikan.
Pelatihan
ini membuat Eufemia Sarina, salah satu peserta yang belum memanfaatkan
teknologi secara penuh, tergerak menjadi lebih aktif memakai teknologi untuk mencari
informasi berkait pariwisata, sesuai studinya. Ia juga ingin membantu
teman-temannya mengoperasikan aplikasi editing video. Menjembatani kesenjangan
teknologi tak selalu menunggu sampai seseorang memiliki pengetahuan tinggi,
tetapi dimulai dari kemauan berbagi keterampilan berbasis teknologi. Siapkah kita
tidak membiarkan seorang pun terbelakang?***
Pendidikan adalah penemuan progresif dari ketidaktahuan kita sendiri. Terus berproses dalam mencari pengetahuan agar kita tidak hanya ikut hanyut terbawa arus perubahan dan kemajuan teknologi.
BalasHapus