Ubi Adalah Ibu

Oleh Yuel Yoga Dwianto.           

Makan bukan hanya soal mengenyangkan perut. Makan juga bukan hanya sekedar memasukkan makanan ke dalam mulut, dikunyah, dirasakan lalu ditelan. Kini, banyak manusia tak lagi makan apa yang ditanam sendiri, namun makan dari hasil tanaman pihak lain. Bisa jadi di masa depan manusia tidak lagi makan dari yang ditanam di tanah, melainkan dari cetakan mesin serta robot canggih, sehingga pangan lokal yang tradisional dianggap ketinggalan jaman. Itulah kegelisahan bersama  bagi orang yang hidup di negeri subur yang melimpah susu dan madunya.

Harusnya, tanah yang mengubah tongkat kayu jadi tanaman ini mampu menghidupkan dan menghidupi manusia yang tinggal di atasnya tanpa kekurangan. Pangan adalah hal sensitif yang tidak bisa tak terpenuhi. Peristiwa sejarah mencatat, penjajah datang ke bumi Nusantara untuk mencari rempah-rempah dan sumber pangan lainnya. Namun, kini semua telah berubah. Kita dengan bangga mengakui kemerdekaan, tetapi menjadi ironis karena dibarengi dengan kebanggaan bahwa makanan yang berkelas adalah makanan dari luar negeri. Celakanya, tanpa kita sadari, bahan baku makanan tersebut dari negeri kita dan kita terjebak dengan budaya konsumerisme produk luar. Jika demikian, sudahkah kita benar-benar merdeka? Ya, kita sedang dijajah oleh makanan-makanan dan produk-produk impor.

Sekarang, yang perlu dipikirkan adalah bukan bagaimana menyaingi kekuatan perang negara lain, tetapi  bagaimana negara ini memberi makan rakyatnya dengan pangan yang bibitnya dimiliki rakyat lokal, ditanam di tanah rakyat, dipanen oleh rakyat, dijual dengan harga merakyat, dan dikonsumsi rakyat supaya sehat. Jika itu disadari dan dilakukan, maka kedaulatan tidak hanya pemikiran, melainkan juga kebutuhan pangan.

Penulis berasal dari Kotabumi, Lampung Utara di mana Ubi adalah ibarat Ibu yang menyokong kehidupan, karena ribuan hektar ubi dibudidayakan di wilayah ini. Meskipun mengandung sumber karbohidrat tinggi, akar kemakmuran ini tidak begitu diminati sebagai bahan pokok makanan karena dianggap kampungan. Ada beragam jenis ubi-ubian yang tumbuh, namun hanya sedikit orang yang mengolah. Menjadi perenungan bersama saat menggemari makanan impor,  dengan bertanya pada diri sendiri, bagaimana nasib pangan lokal ke depannya? Relakah jika harta kita berupa pangan lokal hilang dan terlupakan?  

Sebagai pemuda lokal, penulis memiliki harapan tumbuhnya kesadaran untuk mencintai pangan lokal dari hasil tanah sendiri karena salah satu kekuatan perang terbaik adalah perut kenyang dan salah satu bentuk kemakmuran adalah lumbung yang tidak pernah habis. Lumbung itu adalah tanah kita, maka janganlah kita bergantung pada lumbung orang lain. ***


Komentar