Pancasila Di Tengah Generasi Milenial dan Zillenial

Oleh Sarlota Wantaar,          

Globalisasi yang terjadi seiring kemajuan teknologi yang pesat melahirkan istilah untuk membedakan generasi satu dengan yang lain, dari baby-boomers ke milenial dan zillenial dengan perbedaan pola pikir. Generasi milenial dan zillenial tentunya akan sangat berpengaruh untuk menghidupkan dinamikan demokrasi di Indonesia. Topik ini dibahas pada seminar Perhimpunan Warga Pancasila (PWP) Yogyakarta tentang “Generasi Milennial & Zillennial dalam Dinamika Politik Menjelang Pemilu” secara offline di Mlati, Sleman, Yogyakarta dan online di Zoom dan YouTube (Sabtu, 22/10/2022). Peserta berasal dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa dari beberapa kampus di Yogyakarta dan lembaga-lembaga sosial, seperti Stube HEMAT Yogyakarta yang mengakomodir mahasiswa mengikuti kegiatan ini sebagai bagian untuk mempersiapkan anak muda menyambut tahun politik Indonesia dan pemilu 2024.

Dalam kegiatan ini, Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., selaku penasehat PWP mengungkapkan bahwa perhimpunan ini muncul karena kepedulian atas ideologi Pancasila yang terancam luntur di tengah kemajuan jaman. Diharapankan perhimpunan ini dapat mengingatkan kembali Pancasila sebagai ideologi bangsa yang mampu mempersatukan anak-anak bangsa yang memiliki berbagai kepercayaan, budaya dan golongan yang berbeda. Selanjutnya, Prof. Dr. Irwan Abdullah, ketua PWP mengatakan bahwa generasi milenial yang dilahirkan dalam peradaban baru dalam kemajuan teknologi membuat suasana sosial dan politik yang sangat berbeda, untuk itu perlu membangun sumber daya manusia sebagai kunci yang menentukan arah masa depan. Jadi, perlu ada edukasi tentang keamanan informasi, teknologi informasi dan politik.

Brigjenpol Dr. Andry Wibowo, S.IK, M.H, M.SI., kepala Badan Intelijen Daerah Istimewa Yogyakarta selaku keynote speaker’ menyampaikan bahwa berbicara tentang Pancasila, maka kita harus melihat ruang waktu dan kemudian memaknai dan melakukan sebuah re-imajinasi perjalanan para konseptor kebangsaan  yang kemudian sampai pada titik pemahaman dimana kita menemukan sebuah norma dasar dari sebuah konsensus kita memandang Indonesia, yaitu Pancasila. Ia juga mengatakan bahwa dalam masyarakat yang multikultural mestinya mempunyai satu salam yang dapat mewakili seluruh elemen yang ada.

Kemudian, Danang Giri Sadewa, pengamat muda, mengungkapkan data pengguna media sosial terbesar adalah WhatsApp, diikuti media sosial lainnya. Generasi milenial menggunakan media sosial selain untuk berkomunikasi juga untuk berpolitik. Sementara itu Bambang Sigap, seorang wartawan senior, mengatakan bahwa berdasarkan data survei Kompas, partisipasi generasi muda yang bergabung dalam organisasi politik sangat rendah bahkan tidak pernah sama sekali, namun ketika ada pemilu, partisipasi mereka cenderung sangat tinggi. Bukan itu saja, ternyata generasi muda saat ini merindukan pemimpin yang tegas, kapabel, merakyat, aksi nyata, adil, dan jujur. Selanjutnya, Dr. Pratama Persadha, seorang pakar keamanan Cyber dan Direktur CISSReC mengatakan bahwa banyak berita-berita hoax tersebar di media sosial sehingga perlu teliti membaca berita atau informasi, kemudian mengecek kebenarannya. Ia menambahkan tips melawan hoax, yaitu hati-hati dengan berita provokatif, cermat terhadap alamat situs dan menutup browser jika menemukan nama situs yang mencurigakan, periksa fakta baik di media sosial maupun di website pemerintah dan masyarakat, atau bergabung di komunitas anti hoax.

Diskusi ini menghasilkan pemikiran bagaimana memanfaatkan teknologi untuk berpolitik di era teknologi. Partisipasi apa yang bisa diberikan oleh kaum milenial, apakah hanya sensasi atau mencari keuntungan? Kaum milenial dan zillenial diharapkan memanfaatkan media sosial dan perkembangan teknologi untuk menjaga solidaritas, demokrasi politik , selalu mempertahankan nilai-nilai Pancasila.***

Komentar