Dari Sadeng Mengarungi Lautan Indonesia

Oleh
Kresensia Risna Efrieno.          

Sejauh mana kita mengenal laut kita? Masih meraba-raba? Stube  HEMAT Yogyakarta memfasilitasi mahasiswa dalam ruang belajar mengenal potensi dan tantangan kelautan Indonesia. Sembilan belas mahasiswa dipimpin koordinator Yogyakarta, Trustha Rembaka, S.Th dan didampingi Ariani Narwastujati, S.Pd., S.S., M.Pd., selaku Direktur Eksekutif Stube HEMAT melakukan kunjungan lapangan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sadeng, Gunungkidul (4/2/2023).

Para mahasiswa mengunjungi pelabuhan yang terletak di desa Songbanyu, Girisubo, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan bertemu dengan Agus Santosa, S.Pi., Kepala Seksi Operasional Pelabuhan dan Kesyahbandaran dan Sarina S.P., M.M., Kepala Seksi Tata Kelola dan Pelayanan Usaha. Sebagai kata pengantar, Ariani mengenalkan Stube HEMAT Yogyakarta dan program Ekonomi Kelautan, khususnya dinamika perikanan laut dan kehidupan nelayan melalui eksposur atau kunjungan belajar. Ia menantang masing-masing peserta menyebutkan nama-nama ikan laut untuk mencari tahu sejauh mana pengenalan akan dunia laut. Ternyata sebagian peserta menyebut nama ikan yang sama berulang dan bahkan menyebutkan ikan air tawar.

Agus Santosa memaparkan bahwa pelabuhan Sadeng berdiri sejak 1990 di antara desa Songbanyu dan Pucung, Girisubo, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, sekitar 85 km arah tenggara kota Yogyakarta. Ia mengungkapkan kiprahnya sebagai syahbandar sejak 2018 dan melayani 200 lebih nelayan.  Ia mengisahkan awalnya para nelayan belum tahu pentingnya memiliki dokumen kelautan, tetapi sekarang mereka sudah sadar pentingnya dokumen tersebut, bahkan semakin banyak nelayan yang memiliki kapal pribadi. Hasil tangkapan di tahun 2022 mencapai 3.318,4 ton dengan nilai produksi ikan sebesar Rp 88,17 M, yang didominasi ikan tuna, tongkol dan cakalang. Namun kondisi cuaca dan musim ikan akan berpengaruh pada hasil tangkapan.

Selanjutnya para mahasiswa mengelilingi pelabuhan Sadeng dan mengenali jenis kapal yang digunakan nelayan. Ada tiga jenis kapal, pertama, Perahu Motor Tempel/PMT atau Jukung dengan ciri khas ada sayap di kiri kanan perahu. Jukung adalah perahu kecil bermuatan 1-2 orang untuk melaut satu hari. Kedua, Sekoci dengan lima Anak Buah Kapal (ABK) dengan jarak minimal 3 mil dari pantai dan biasanya melaut 5-7 hari. Ketiga, Kapal Motor atau Slerek dengan 25-33 ABK dengan jarak minimal 12 mil dari pantai dan mampu melaut sampai empat belas hari. Selain kapal nelayan, di pelabuhan Sadeng ada kapal milik Polisi Air dengan jumlah personil 25 orang dan perahu Search and Rescue (SAR) yang siap digunakan untuk patroli keamanan dan merespon ketika terjadi pelanggaran keamanan maupun kecelakaan laut. Selain mengenal perahu, para mahasiswa mengamati instalasi breakwater, mercu suar dan instalasi cuaca BMKG untuk menyediakan informasi cuaca kepada nelayan menjelang melaut.

Pengalaman para mahasiswa semakin lengkap ketika mereka masuk ke perahu sekoci dan berdialog dengan beberapa nelayan untuk mengenal lebih dalam kehidupan seorang nelayan di Sadeng. Kelompok satu berdialog dengan Cimeng, nakhoda perahu Sekoci yang mengungkap bagaimana mengemudikan perahu, membaca arus laut dan bisa memperbaiki mesin perahu. Kelompok dua berinteraksi dengan Mujito, seorang Anak Buah Kapal (ABK) tentang suka duka melaut yang hasilnya sangat bergantung pada kondisi cuaca dan musim ikan. Kelompok tiga bertukar pikiran dengan Ristini tentang bagaimana mengolah ikan menjadi produk turunan sesuai dengan jenis ikan yang cocok seperti menjadi abon, bakso dan produk lainnya. Ketiganya merupakan penduduk setempat yang hidup dengan dan dari laut. Ternyata sebagian mahasiwa mengaku baru pertama kali naik perahu dan merasa mual ketika perahu diayun-ayun ombak. Namun demikian mereka menunjukkan antusiasme berdialog langsung dengan mereka di atas kapal-kapal yang bersandar.

Salah seorang mahasiswa, Andre, mahasiswa asal Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, mengatakan, ”Saya menemukan hal-hal baru berkaitan dengan nelayan, seperti cara nelayan berlayar di laut, modal yang dibutuhkan sebelum melaut, jenis kapal dan peralatan untuk menangkap ikan dan distribusi ikan sampai ke konsumen. Saya menyadari nelayan bukan pekerjaan mudah karena harus bertaruh nyawa. Saya sangat respek pada nelayan atas semangat, kerja keras dan tangguh menghadapi tantangan.”

Benarlah bahwa eksposur ini menjadi pengetahuan baru dan pengalaman yang menarik untuk mahasiswa dalam menangkap ilmu tentang kelautan dan problematika yang dihadapi nelayan. Laut dengan segala potensinya menjadi masa depan bangsa, siapkah anak muda sebagai generasi penerus mengelola secara bertanggung jawab dan menjaga kelestariannya? ***



Komentar