Menelusur Infrastruktur di Pulau Dewata

Oleh Trustha Rembaka.          

Pembangunan infrastruktur cukup gencar di Indonesia demi menjamin ketersediaan fasilitas infrastruktur baik fisik maupun nonfisik yang menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari di lingkup ekonomi dan sosial. Cakupan infrastruktur meliputi jalan raya, pelayanan transportasi, air, manajemen limbah, bangunan dan fasilitas olahraga luar, dan produksi dan distribusi energi, sementara yang non-fisik mencakup berbagai upaya yang dilakukan guna mendukung sarana prasarana umum yang dibutuhkan masyarakat.

Pengamatan fasilitas infrastruktur menjadi kegiatan para mahasiswa dan tim Stube HEMAT Yogyakarta dalam program Infrastruktur yang Tangguh: Menghadirkan kehidupan yang aman dan nyaman. Kegiatan dikemas dalam kunjungan belajar ke pulau Bali yang menjadi magnet level dunia (26-29 Juni 2023). Beberapa unsur infrastruktur bisa diamati dari perjalanan melalui jalan tol Solo sampai Probolinggo, yang bisa ditempuh dalam waktu 6-7 jam, kemudian PLTU Paiton di Probolinggo yang menyuplai kebutuhan listrik Jawa dan Bali. Perjalanan ke timur berujung di pelabuhan Ketapang, kabupaten Banyuwangi yang sangat strategis sebagai penghubung ke pulau Bali. Untuk menunjang pergerakan kendaraan dan kapal feri, pelabuhan ini memiliki tiga jenis dermaga, yaitu Landing Craft Machine (LCM), Moveable Bridge (MB) dan ponton. Namun demikian di waktu tertentu terjadi antrian panjang kendaraan.

Bangunan-bangunan di Bali memiliki arsitektural yang khas, seperti Pura di Tanah Lot yang dibangun di pulau karang dan akan seperti mengapung saat laut pasang. Pura Ulun Daun di Bedugul yang nampak mengambang di tengah danau Beratan. Tak kalah menarik ketika mengamati Pura Dalem Agung Padangtegal di kawasan hutan di Mandala Suci Wenara Wana dengan primata kera yang melenggang bebas, berlanjut pemukiman dengan tata ruang di Desa Penglipuran, kabupaten Bangli yang menerapkan arsitektur tradisional Bali. Loyalitas masyarakat desa setempat dalam menjunjung adat leluhur baik dalam ritual maupun dalam kehidupan sehari-hari, kesepakatan menjaga tatanan kawasan tetap rapi teratur dan berkesinambungan dengan alam, menjadi kunci keberlanjutan desa Penglipuran.

Jalan tol Bali Mandara yang menjadi kebanggaan pulau ini karena dibangun di atas laut sepanjang lebih dari 12 km mengantar para mahasiswa dan tim Stube HEMAT Yogyakarta sampai kawasan Bali selatan, tepatnya kawasan perbukitan karst yang dikembangkan menjadi kawasan Garuda Wisnu Kencana Cultural Park. Di dalamnya terdapat Plaza Wisnu, Plaza Garuda di mana patung kepala Garuda setinggi 18 meter ditempatkan. Plaza Garuda menjadi sentral ruang terbuka Lotus Pond yang dikelilingi lorong dan pilar-pilar batu karst. Beragam acara besar nasional dan internasional pernah diadakan di sini. Pengembangan kawasan GWK menjadi alternatif pemanfaatan lahan marjinal tanpa merusak tapi memberikan manfaat ekonomis bagi daerah dan masyarakat. Di Bali Selatan, selain GWK, kawasan Nusa Dua yang marjinal sudah lebih dulu dikembangkan menjadi kawasan wisata unggulan dengan melibatkan budaya setempat dan selaras lingkungan.

Bagaikan sebuah ironi ketika sarana infrastruktur dibangun dan diperindah, tetapi jaringan telepon ‘mengganggu’ suasana ketika di suatu lokasi berjajar tiang-tiang telepon dan kabel yang bersilang sengkarut. Selain itu, beban jalan di Bali pasti akan semakin berat karena lalu lintas yang bertambah padat. Bagaimana Bali ke depannya, apakah tetap menjadi magnet wisata yang berkelanjutan atau mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran? Jangan biarkan waktu menjawabnya, tetapi langkah-langkah antisipasi perlu dilakukan. ***

Komentar