Membuka Paradigma tentang Memanen Air Hujan

Diskusi PMKRI, Gusdurian dan Karang Taruna Sorowajan

Oleh Stube HEMAT Yogyakarta.          

Pernahkah Anda mengonsumsi air hujan? Pertanyaan ini diutarakan oleh Trustha Rembaka, koordinator Stube HEMAT Yogyakarta kepada peserta dalam diskusi PMKRI Yogyakarta, Gusdurian Jogja dan Karang Taruna Sorowajan di Griya Gusdurian (Sabtu, 22/7/2023). Pertanyaan ini menggugah atensi para peserta berkaitan dengan hujan, dimana sebelumnya mereka mengungkapkan respon tentang apa yang mereka pikirkan ketika hujan atau kehujanan. Beberapa mengungkapkan persepsi tentang hujan maupun kehujanan adalah mengganggu, syahdu, bikin kesal, memicu sakit kepala, menimbulkan banjir dan beragam jawaban lainnya. Selain itu, ketika peserta menghitung kebutuhan air rata-rata dalam satu hari terungkap bahwa kebutuhan air dari paling sedikit 70 liter sampai 200 liter per hari! Kebutuhan air tersebut sebagian besar disuplai dari sumur, PDAM dan air isi ulang. Ini yang menjadi starting point diskusi bersama apakah hujan selalu negatif dan mungkinkah memanen air hujan?

Ya, memanen air hujan menjadi alternatif, karena air hujan belum dimanfaatkan padahal gratis dan secara logika air hujan lebih bersih dibanding air tanah karena belum bercampur dengan polutan dalam tanah. Stube HEMAT Yogyakarta sebagai lembaga pengembangan Sumber Daya Manusia mendorong anak muda dan mahasiswa melek problematika air dan eksistensi air yang perlu terus dijaga. Anak muda harus ‘masuk’ ke realita permasalahan air, sehingga mereka menyadari dan menerapkan dalam hidup sehari-hari untuk bijak menggunakan air.

Dalam proses diskusi, Trustha memaparkan permasalahan air berkaitan tiga faktor, yaitu, Ketersediaan – banyaknya air belum tentu bisa digunakan, air yang tercemar tidak diperhitungkan karena tidak dapat digunakan. Akses – jika air tersedia tapi sulit didapat, maka air menjadi barang langka. Distribusi – penyebaran harus adil dan merata, antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Selain itu, kecenderungan hunian yang semakin padat juga berimbas pada limbah domestik rumah tangga yang tidak terkelola akan mengancam kualitas air, terlebih beberapa peserta mengakui masih menggunakan air sumur untuk konsumsi sehari-hari.

Di paparan berikutnya, peserta mencermati langkah memanen air hujan menjadi siap minum menggunakan bejana berhubungan untuk elektrolisis menggunakan anoda (+) di bejana satu dan katoda (-) di bejana kedua yang dialiri listrik searah. Peserta menguji keasaman air elektrolisis dengan pH meter dan kandungan mineral air dengan TDS (Total Dissolved Solid), kemudian dibandingkan dengan air setempat. Untuk pH, air hujan elektrolisis di angka 8 dan TDS di bawah 10 ppm sedangkan air setempat pH di angka 7 dan TDS di angka 120an ppm. Kedua air ini masih di dalam regulasi Permenkes 492/Menkes/Per/IV/2010 standar pH air minum adalah 6,5 – 8,5 mg/l dan Total Dissolved Solids (TDS) maksimum adalah 500 mg/l.

Dari diskusi ini anak muda menyadari masalah air, dari ketersediaan air yang terbatas, akses dan distribusi air yang belum merata, sehingga pemanfaatan air hujan untuk air minum menjadi salah satu alternatif. Hujan tidak lagi dianggap mengganggu tetapi berkah untuk kemandirian air minum. Jadi, anak muda ubah paradigma, mulai memanen dan mengonsumsi air hujan.***

Komentar