Beragam Sumber Pangan Lokal, Diolah Apa?

Oleh Trustha Rembaka.          

Indonesia merupakan negara kaya biodiversitas, termasuk sumber pangan nabati maupun hewani. Keragaman hayati tersebut belum dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber pangan karena beragam penyebab, misalnya rendahnya pengetahuan tentang bahan pangan, minim referensi tentang cara pengolahannya, membanjirnya produk jadi dan bahan impor, dan produk dengan bahan lokal belum berkembang dan faktor-faktor lainnya.

Ini berdampak pada ketahanan pangan Indonesia di 2020 dan 2021 ketahanan pangan Indonesia masih di bawah rata-rata global yang indeksnya 62,2, serta lebih rendah dibanding rata-rata Asia Pasifik yang indeksnya 63,4. Indeks ketahanan pangan Global Food Security Index (GFSI) diukur dari empat indikator, yaitu keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi (quality and safety), serta keberlanjutan dan adaptasi (sustainability and adaptation). Kabar baiknya di 2022 ada perbaikan.

Padahal jika menilik sumber pangan dari nabati saja, Indonesia memiliki 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayur-sayuran, 110 jenis rempah dan bumbu, 40 jenis bahan minuman dan 1.260 jenis tanaman obat. Ini yang harus terus dipromosikan dan dikembangkan para stakeholder, termasuk anak muda dan mahasiswa.

Gerakan mahasiswa yang concern pada isu pangan lokal terus diperkuat Stube HEMAT Yogyakarta dalam Diskusi Mahasiswa tentang Inisiatif Pangan Lokal di Sekretariat Stube HEMAT Yogyakarta (9/9/2023). Ketika bangsa ini memiliki beragam pangan lokal, apa yang bisa mahasiswa lakukan pada potensi besar ini. Tentu harapannya bisa melakukan inovasi dalam budidaya, pengolahan dan pemasaran produk yang mengerek ekonomi masyarakat setempat.

Dalam diskusi, Trustha Rembaka, mengawali dengan mengajak para peserta menyebutkan ragam cara mengolah bahan pangan. Beberapa yang disebutkan antara lain menggoreng, menumis, mengukus, merebus, memanggang dan membakar, padahal ada alternatif lain seperti mengasap, fermentasi, dan pengeringan. Selanjutnya Trustha memandu peserta menceritakan potensi pangan di sekitar tempat tinggal mereka dan memetakan produk-produk turunannya yang bisa dihasilkan, misalnya Effie Rambu Boba dari Anajiaka, Sumba Tengah yang mengungkap pisang, ubi jalar, labu dan ternak, Ando dari Sorong menceritakan sagu dan salak sehingga dikenal sebagai kampung salak. Kemudian Sutopo dari Batumarta, Sumatera mengungkapkan kopi, singkong dan pepaya tumbuh di sekeliling rumahnya, sedangkan Yonas menyebutkan jambu mete cukup melimpah di kawasan Manggarai, tempat tinggalnya. Tak kalah, Mensiana dari Kanatang, Sumba Timur memaparkan panenan dominan jagung, labu dan kacang tanah. 

Sebagai langkah lanjut dari topik ‘Punya Beragam Pangan Lokal, Kamu Bisa Apa?’ para peserta menggagas pengolahan hasil pangan lokal yang mudah untuk mereka kerjakan, dari pisang menjadi manggulu dengan sentuhan baru, labu kuning menjadi makanan basah dan makanan kecil termasuk jagung yang diolah menjadi ‘Kawuhuk’

Dengan memperluas wawasan tentang bahan pangan lokal, menambah referensi cara pengolahan dan mempraktekkan pengolahan menjadi produk yang siap jual, anak muda menjadi inspirator kembalinya eksistensi pangan lokal di bangsa ini. Pasti bisa!***


Komentar