IFS: MENYEMAI MASA DEPAN

Sharing Pengalaman Lampung-Wamena

Oleh: Stube HEMAT Yogyakarta          


Kearifan Lokal dari Lampung hingga Wamena

Di tengah tantangan ketahanan pangan dan perubahan iklim, Integrated Farming System (IFS) atau Sistem Pertanian Terpadu hadir sebagai pendekatan holistik yang menggabungkan berbagai komponen pertanian—tanaman, ternak, perikanan, dan pengolahan limbah—dalam satu ekosistem yang saling mendukung. Lebih dari sekadar teknik, IFS mencerminkan filosofi hidup yang berakar pada kemandirian, keberlanjutan, dan kearifan lokal. Bersama Ketua BUMDES Sejahtera Agung Jaya, Daniel dan Pastor Dedikson Patras, Stube HEMAT menjejaringkan dan saling memperluas pemahaman atas potensi yang dimiliki dua daerah ini secara online (Jumat, 19/09/2025).

Lampung dan Wamena menjadi dua titik inspiratif bagi banyak anak muda. Daniel menuturkan, ”Mendalami integrated farming sebagaimana yang saya lakukan, bukan sesuatu yang instan. Satu sampai dua tahun awal proses menjadi fase yang menantang, karena ini adalah waktu berinvestasi, belum memberikan hasil. Baru di tahap selanjutnya, buah atau keuntungan baru bisa dirasakan.” Daniel melakukan integrasi perkebunan ketela dan ternak kambing yang menjadi potensi daerah setempat. Ubi ketela dan daun menjadi sumber pakan ternak, sementara kotoran ternak menjadi sumber pupuk tanaman. Memiliki kandang dengan daya tampung 70 ekor kambing masih dirasa tidak mencukupi, sehingga tahun depan ia berencana membuat satu kandang baru sebagai pengembangan. Ternak kambing pedaging merupakan usaha yang menjanjikan dan bisa dikerjakan dengan managemen baru, seperti mengatur ketersediaan pakan ternak dengan fermentasi dan silase daun ketela yang bisa bertahan satu tahun. Peternak bisa membuatnya sendiri dan tidak tergantung pihak lain, sehingga bisa memperbesar keuntungan yang diperoleh serta pengurangan ketergantungan pada pupuk kimia. 

Wamena di Papua tidak sama dengan Lampung, namun  IFS bukanlah sistem yang seragam, melainkan lentur, kontekstual sesuai wilayah. Di dataran tinggi Papua, pendekatan IFS lebih berbasis tradisi. Petani pada umumnya memadukan budidaya ubi, sayuran lokal, dan ternak babi dalam sistem rotasi untuk menjaga kesuburan tanah. Kotoran ternak dimanfaatkan sebagai pupuk, dan sisa panen menjadi pakan. Meskipun teknologi minim, prinsip keberlanjutan sangat kuat. Pastor Dedikson Patras yang selama ini mengelola sumber daya manusia di lembaga YKS, mulai tergelitik untuk mengolah lahan pertanian  bersama anak-anak muda bimbingannya. Tentu saja dengan konteks Wamena, pertanian/perkebunan dan ternak babi. Usaha pertanian dan peternakan bisa menjadi sumber income primer dan fundraising lembaga.

Nilai Edukatif dan Transformasi Sosial

IFS bukan hanya soal produksi, tapi juga pendidikan. Ketika anak-anak di Wamena belajar bahwa kotoran babi bisa menyuburkan kebun, atau mereka yang di Lampung melihat bagaimana tanaman ketela dan ternak kambing bersinergi, mereka belajar tentang ekologi, ekonomi, dan etika kerja. Di sinilah IFS juga berfungsi sebagai alat transformasi sosial—menghubungkan ilmu dengan kehidupan sehari-hari. Tantangan utama adalah akses informasi, pendampingan teknis, dan perubahan pola pikir. Namun, dengan pendekatan partisipatif dan berbasis komunitas, IFS bisa menjadi gerakan akar rumput yang menguatkan ketahanan lokal.

Menyemai Masa Depan

IFS mengajarkan kita bahwa pertanian bukan hanya soal hasil, tapi tentang hubungan—antara manusia dan alam, antara generasi tua dan muda, antara ilmu dan tradisi. Dari Lampung hingga Wamena, kita melihat bahwa keberlanjutan bukanlah konsep abstrak, melainkan praktik harian yang bisa diwariskan dan dikembangkan. Selamat melakukan, berproses, dan memetik hasil. ***



Komentar