Hidup Dalam Sorotan: Kontroversi UU ITE sebagai Pelindung Privasi

Oleh: Tobias Nico P.          

Di tengah hiruk pikuk berkembangnya dunia digital, batasan antara ruang publik dengan ruang privat semakin menghilang. Hampir semua kegiatan manusia sehari-hari saat ini bisa terekam, tersimpan, dan tersebar melalui perangkat digital dan jaringan internet. Perangkat dan jaringan yang awalnya digunakan sebagai ruang berinteraksi dan menghilangkan batasan geografi, menjadi tempat berbagi dan bahkan hampir tidak ada batasannya. Ditambah lagi adanya media sosial sebagai ajang berbagi berbagai macam hal. Mencermati hal ini, penulis dan beberapa mahasiswa sejarah UGM, mencoba mengangkat tema terkait ruang privasi ini ke dalam sebuah pameran, bertepatan dengan tugas akhir mata kuliah Sejarah Kontemporer, dengan judul “Hidup Dalam Sorotan: Kontroversi UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) sebagai Pelindung Privasi” (Jumat, 28/11/2025).

Bertempat di Luweng Soegondo, Kantin Sastra, FIB UG, pameran ini dibagi ke dalam 4 bagian. Bagian pertama kasus terkait dengan pelanggaran privasi sebelum adanya UU ITE (UU RI No.11/2008), bagian kedua mencakup kasus terkait dengan pelanggaran privasi setelah adanya UU ITE, bagian ketiga kronologi perjalanan UU ITE, dan terakhir bagian yang menyoroti pro-kontra UU ITE. Secara umum, pameran ini membahas apa itu UU ITE, sebagaimana tujuan awal sebagai payung hukum guna melindungi masyarakat di dunia digital. Dalam perjalanannya, apakah UU ITE ini benar-benar mampu melindungi atau menjadi bumerang bagi masyarakat. Pameran ini juga memuat pasal karet yang banyak diperbincangkan publik. Namun, topik utama yang dibahas adalah ruang privasi.

Salah seorang pengunjung berkomentar, “Dunia digital era sekarang ini memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya adalah batasan geografi bukan penghalang untuk berinteraksi. Namun, karena tidak ada batasan yang pasti baik teritorial (geografi) ataupun lainnya, informasi mudah sekali tersebar tanpa filter. Hal tersebut sangat rawan menyebabkan misinformasi”. Menurutnya pula, “Privasi merupakan hak individu yang tidak bisa diintervensi oleh pihak lain. Masyarakat dan pemerintah perlu segera menentukan batasan supaya dapat mengimbangi kecepatan perkembangan teknologi”. Beberapa mahasiswa pengunjung mengapresiasi pameran ini dan menilai sebagai pameran yang keren karena pameran ini mengajak anak muda/mahasisawa sadar dan melek terhadap privasi di dunia digital.

Penulis dan teman-teman mahasiswa penyelenggara pameran berharap pameran ini bermanfaat bukan sekedar memperoleh nilai ujian akhir, tetapi juga memberi pemahaman  pentingnya privasi yang sudah mulai menghilang. Sadarkah anda? ***


Komentar